Dress-Up Game :3

Monday, September 27, 2010

Full-Surprise-Life Part 9

Butet mengendap-endap masuk ke dalam rumah. Ia celingukan sejenak, melangkah perlahan namuun..

“BAAAA!!” teriak seseorang sambil menepuk pundaknya.

Butet kaget setengah mati.
Siapa yang nggak kaget coba, ditepok pundaknya tengah malem, pas sendirian lagi, kalo bukan orang iseng, paling juga yang g keliatan sama mata.. Brrrr!

Dengan takut-takut gadis berambut cepak tersebut menoleh.

Ia langsung mendesah lega melihat seseorang di depannya. Ternyata kak Vita, bukan makhluk kasat mata yang tadi sempat mengganggu benaknya.

”Hayooo darimanaaa? Jam segini baru pulang!” tanya Vita, kedua tangannya dilipat di dada. Persis seperti gayanya ketika ’menginterogasi’ Grace tempo lalu.


Butet masih diam.

”Ah.. Kencan ya!” sambar Vita.

Butet terbelalak. 1-0 untuk Vita. Sodokannya tepat sasaran! Wajah Butet seketika memerah.

”Cieeeeee!!” seloroh Vita sambil mengerling nakal ke arah Butet.

Butet tak mempedulikan seruan seruan serta ejekan dari kakaknya itu. Ia langsung ngeloyor menaiki tangga, menuju ke kamarnya.

Cklek. Butet menutup pintu.

Setelah itu ia langsung merebahkan diri di kasur. Terbayang lagi wajah Pak Hendra—RALAT—Hendra. Terbayang lagi kejadian kejadian waktu dinner barusan. Terbayang lagi ketika mereka berdua ngobrol.
Ohya, obrolan! Tak disangka obrolan Butet dan Hendra sangat nyambung. Tak disangka ternyata mereka sama sama pecinta musik. Seperti Butet, Hendra juga menyukai musik, mulai dari musik klasik setara Beethoven atau Sonata, musik Jazz ala Dave Kozz dan Tompi, sampai musik sekelas Black Eyed Peas dan Rihanna.

Begitu nyamannya dan begitu nyambungnya obrolan mereka, sampai sampai Butet lupa waktu. Sampai tak sadar bahwa sudah hampir tengh malam. Sampai tak sadar sudah berjam jam mereka ngobrol.

Namun tak sedikitpun Butet merasa jengah. Tak sedetik pun Butet merasa bosan. Tak pernah gadis tomboy ini mengalami hal yang sama—perasaan yang sama, sebelumnya.
Sebelum bertemu dengan Pak Hendra—Hendra.
Dan setelah pertemuannya dengan lelaki oriental tersebut, disadarinya banyak hal berubah.
Pikirannya lebih terbuka, wawasannya bertambah.
Tak hanya itu yang berubah. Perasaan Butet, juga.
Gadis ini biasanya canggung atau panas dingin bila harus berinteraksi secara langsung dengan makhluk bernama LAKI LAKI.
Namun yang dirasakan Butet pada Hendra berbeda. Ia sama sekali tak merasa canggung, malah sebaliknya ia merasa enjoy, nyaman bila berada di dekat Hendra. Dan Butet menikmati segala perubahan ini.

***

Terlalu lama, ini sudah terlalu lama!
Vita masih sibuk dengan laptopnya, mencari bahan browsingan untuk artikelnya, namun ia tak bisa berkonsentrasi penuh karena daritadi pikirannya tersita oleh Alvent.

Kenapa dia masih nggak kirim kabar, sih? Seenggaknya sms kek! Dia pikir aku nggak kangen!
Vita segera membuka emailnya, dan memutuskan untuk mengirim email kepada Alvent.


*Sementara di tempat Alvent..

Alvent duduk di depan laptop sambil menyesap cappucinonya. Sepertinya dirinya pun tak dapat berkonsentrasi karena semenjak tadi Vita terus saja menyambangi benaknya. Berkas kantor berserakan di meja. Tempat tidur pun masih berantakan, bantal dan gulingnya ditumpuk asal, selimut tak dilipat. Tumpukan buku berada di bawah meja dengan segunung debu diatasnya. Ckckckck!

”Kamu kenapa Vent? Kok kayaknya suntuk gituh?”

Alvent menoleh. Ternyata Sarah, sahabat sekaligus teman kecil Alvent.

”Kenapa?” tanya Sarah sekali lagi, sekarang diiringi senyum manis.

”Ah enggak papa kok. Tumben kamu maen sar? Ada apaan?” tanya Alvent balik.

”Haha, elo kayak gue siapa aja deh. Kita kan udah temenan 10 taon, Vent. Dan rumah gue cuma jarak 3 rumah sama rumah lo.” Sahut Sarah terkikik.

Alvent nyengir. ”Astaga, iya nih maap, gue lagi ga connect.”

Sarah hanya menggelengkan kepalanya kecil.

”Bentar ya gue tinggal dulu, mau bikin cappucino lagi.” Ujar Alvent lalu meninggalkan Sarah ke dapur.

Sarah mengangguk.

Ia menunggu Alvent sampai menghilang di balik tangga. Kemudian, ia mendekati laptop Alvent. Oh, lagi buka email, batinnya.

Sarah menautkan alisnya ketika melihat sebuah email masuk. Di dalam hati gadis itu sedang terjadi perang batin, untuk membiarkan email itu—atau nekat membukanya. Akhirnya didorong rasa penasaran yang amat sangat, Sarah membuka email tersebut.

Gosh! Vitamarissa@yahoo.com???
-Hai Vent apa kabar? Kok kamu beberapa hari nggak kasih kabar ke aku sih? Nomor kamu juga nggak aktif. Tapi asal kamu baik baik aja aku udah seneng kok hehe. Bye Alventku, aku pengen ketemu kamu nih. Semoga cepet kesampean ya? Amin. Sukses selalu buat karier kamu. Aku disini selalu mendoakan. Love. Vita. –

Sarah menahan amarah membaca email itu. Sejenak kemudian, ia menghapus email tersebut.

Tepat, sedetik kemudian—Alvent memasuki kamar dengan secangkir kopi di tangannya.

Sarah langsung gelagapan salah tingkah. “Oh, hai, Vent!!“ seru gadis itu, berusaha tak terlihat mencurigakan.

“Hai juga.“ Sahut Alvent.

Syukurlah, sepertinya ia tidak curiga, batin Sarah.

“Em.. aku pulang dulu ya? Soalnya jam 3 aku ada shift.. Bye Alvent!“ ujar Sarah sumringah. Sebelum melangkah pergi ia melempar senyum manis kepada Alvent.

Yang disenyumi sama sekali nggak ’berpikiran’ apa-apa, hanya tersenyum balik, kemudian kembali sibuk dengan laptopnya.

“Argh!“ umpatnya kesal ketika menengok emailnya, dan tak ada satupun email baru dari Vita.

***

”Jangan lelet lelet ya! Pak Burhan mau, berkasnya sampe sebelum jam 1!”

Grace melangkah cepat di lorong universitas sambil terus mengomel.

Sialan si Ahsan! Gue bener-bener udah kayak pembokatnya kalo gini terus. Kudu diralat waktu gue bilang dia baik plus perhatian. Yeah—mungkin emang baik, tapi waktu itu aja. Just at yesterday. Sekarang? Liat apa! Balik lagi jadi monster kejam! Grrrrrrr!!

Grace terus saja melangkah sambil ngedumel hingga tak sadar kalau di depannya ada orang. Daaan...

Bruk!

Hah! Pake nabrak orang pula kau Grace! Sial nasibku mama.. ckckc

Grace langsung memunguti kertas kertasnya yang berserakan, dibantu oleh orang yang ditabraknya tadi.

”Nih.” ujar orang tersebut sambil menyerahkan kertas milik Grace yang terakhir.

Grace menerima kertas itu, lalu keduanya bangkit.

”Duh, maaf ya!” seru Grace penuh penyesalan

“Nggak papa kok.” Sahut orang—tepatnya, cowok itu sambil tersenyum, lalu melangkah pergi meninggalkan Grace.

Grace masih terpana dengan senyuman maut memikat cowok tinggi tersebut.

Secepat kilat Grace berbalik, “Ah.. makasih juga ya!!” serunya setengah berteriak.

Cowok itu hanya melambaikan tangannya di udara tanpa berbalik.

***

”Ih napa sih lo Grace? Buset dah!” dengus Nitya kesal.

“Apaan yang kenapa?” tanya Grace, tanpa berhenti memangku kepala dengan kedua tangannya.

“Ya elolah yang kenapa! Aneh banget habis dari ruangannya Pak Burhan …” sekarang Shendy yang ngomel, sementara Pia hanya manggut manggut menyetujui kedua temannya.

“Jangan jangan…” tebak Nitya lalu bergidik ngeri hiperbolis

“Apa?” Grace langsung menoleh. Namun tak lama kemudian kembali sibuk dengan lamunannya. ”Gue cuman ngerasa, kayaknya love at first sight gitu..” ujar gadis gembil itu sembari senyum senyum nggak jelas.

”What??? Loph at the pirst sight??” Pia hampir saja menyemburkan bakpao yang sedang ‘dilumat’ dalam mulutnya.

“Telen dulu meeen!!” Nitya mendorong mulut Pia yang penuh dengan bakpao.

Shendy dan Grace hanya tertawa geli.

”Waduh neng... kamu love at the first sight sama siapa??” Tanya Shendy penasaran.

“Sama.. cowok yang tadi aku tabrak..”

“Ih si Grace suka main tebak-tebakan ya? Kan kita kita gatau lo tadi nabrak siapa.. Kalo gitu, siapa deh namanya???” tanya Shendy lagi.

Grace menoleh lalu wajahnya tampak sedih. ”Makanya itu, aku juga gatau namanya!”

GUBRAK!

***

”Gimana dinnernya say??? Lovely - kah??” tanya Maria usil ketika Butet baru saja datang, hendak menaruh tas ranselnya di loker.

Wajah Butet langsung memerah. ”Ish udah deh Marsel jeleek!” ia mencubit pipi Maria lalu melenggang ke loker.

***

Pulang kerja..

Hujan turun rintik-rintik.
Maria berlari menuju halte sambil menutupi kepalanya dengan sebuah tas tangan. Berbeda dari Butet yang mengendarai sepeda untuk bekerja, dirinya harus pulang pergi dengan bis dikarenakan kost-kostannya yang jauh.

Maria menaikkan alisnya melihat pemandangan yang tidak biasa di halte. Halte—yang biasanya penuh sesak dengan calon calon penumpang, sekarang begitu lengang. Hanya ada dirinya, dan seorang laki-laki seumurnya.
Maria pun langsung duduk, tak mau berlama-lama di tengah hujan.

”Ah, malangnya nasibku ini... Nglamar kerja sana sini ditolak.. Masa’ mau jadi pengangguran terus..” seru lelaki itu sedih.

Duuuh, nih orang ga waras apa ya? Ngomong sendiri! Pake curcol segala lagi. Dasar wong edaaan! Gerutu Maria dalam hati.

“Mana belum bayar kost lagi.. Gimana mau bayar? Kerjaan aja ga punya!” ujar lelaki itu lagi.

Maria tak menjawab.

”Hah.. orang lain juga ndak ada yang mau denger keluh kesah saya! Mendingan saya mati aja!” seru lelaki itu, lalu bangkit dari tempat duduknya.

Maria membelalak. Bunuh diri???!

”Eh jangan pak atau... mas lah! Jangan bunuh diri!” Maria menarik tangan lelaki tersebut.

Maria sendiri heran dengan tindakannya barusan, namun entah kenapa, ada dorongan dari dalam yang memaksanya untuk menahan lelaki tersebut.
Lelaki tersebut menoleh, lalu kembali duduk.

”Semua persoalan pasti ada solusinya. Bunuh diri bukanlah jalan terbaik. Itu hanya akan menyakiti, dan merugikan diri sendiri, nggak menyelesaikan masalah.” ujar Maria bijak, pandangannya menerawang ke depan.

Lelaki tersebut terkesima.

”Ternyata masih ada orang yang peduli dengan saya. Terima kasih mbak!!” serunya senang, lalu menggenggam tangan Maria.

Maria hanya tersenyum ragu lalu menghela nafas,
kenapa harus ketemu orang aneh sih hari ini ? ? , keluhnya dalam hati.

No comments:

Post a Comment