Pulang dari kampus, Gel langsung duduk di sofa. Televisi disetelnya tapi dibiarkan mengoceh sendiri, sementara pikirannya kembali tertuju ke pertemuan-terakhir-super-mellow dengan teman temannya tadi sore.
“Hayooo ngelamun! Kesambet baru tau rasa lo!”
Grace kaget dan menoleh ke asal suara itu. Terlihat Vita sedang terkikik geli sambil menuang sirup ke dalam gelas.
“Jangan jangan mikirin ‘pangeran plester’ lo lagi!” tebak Vita, cengengesan ga jelas lalu duduk di samping Grace.
“Ish pangeran plester??!” Grace ingin terlihat kesal karena diledek, namun yang terlihat malah wajah meronanya.
“Bener kaaaan, apa gue bilang! Udah deeh, lo ngimpiin dia sampe lumutan juga ga bakal kesampean Gel! Orang namanya aja lu kaga tau!” ujar Vita sambil mengganti channel TV.
Graysia menimpuk kakaknya dengan kesal, setelah itu wajahnya berubah cemberut. Memang benar kalo dia tidak mengetahui apapun tentang Pangeran Plesternya itu. Pangeran Plester, seorang cowok yang telah memberinya plester. Masalah sepele, sih memang. Namun entah kenapa, Gel malah tidak bisa melupakan cowok itu. Semuanya dimulai waktu festival olahraga di SD…
-FESTIVAL OLAHRAGA SD, 15 Januari 1993-
“Para peserta lari estafet kelas 4, ayo berkumpul Sekarang giliran kalian,” teriak bu guru di ambang pintu.
DEG. Aku merasa mulas seketika. Aku sadar diri tidak bisa berlari kencang. Bagaimana nanti kalau aku tertinggal, dan akhirnya kalah? Aku takut kalah, karena itu berarti aku akan mempermalukan seisi kelas. Berbagai pikiran jelek menjejali otakku. Aku sama sekali tidak bisa berpikiran dengan jernih.
“Greysia, ngapain kamu masih di situ sayang? Ayo kita pergi keluar. teman temanmu sudah menunggu.” aja Bu Guru lalu menggandeng tanganku. Aku hanya menurut.
@Lapangan
Wah, lapangan benar-benar penuh oleh peserta festival. Tahun ini luar biasa ramainya, 2 kali lipat dari tahun tahun sebelumnya.
Aduh, perutku semakin mulas, dadaku semakin sesak.. aku ingin menangis… Ya Tuhan. tolong beri aku kekuatan supaya bisa mengikuti lomba ini dengan baik.. Amin.
“Bersedia… Siap…? Mulaai!!” Pak Guru meniup peluitnya, tanda perlombaan dimulai.
Entah aku harus bersyukur atau menggerutu karena menjadi peserta terakhir dari kelasku. Memang kalau terakhir itu artinya kita bisa mempersiapkan diri lebih lama dari yang lain. Tapi…. menjadi peserta terakhir dalam estafet, itu juga artinya kita yang menjadi penentu kemenangan. Penentu kemenangan kelompok kita. Huh!
Aku kembali melihat ke barisan depanku. Oh My God! Sita, Diana, Bunga, Aldi, Rio, sudah sampai di finish! Sekarang Tere yang sedang berlari, berarti habis ini giliran yang terakhir, giliranku!
Deg deg deg deg deg detak jantungku terasa makin cepat..
Kulihat Tere telah sampai, ia sudah siap, maka aku pun mulai berlari, secepat yang aku bisa..
“Ayo Grace, Ayo Grace! Kamu pasti bisa!” cheers Diana Sita dan Bunga menyemangatiku
Aku hanya tersenyum tipis.. masih berlari.. God, aku posisi terakhir! Nafasku mulai tersengal-sengal.. Please, kuatkan aku Ya Tuhan…
Aku memacu lariku. Dan, hei! Lajuku semakin cepat! Entah dapat kekuatan darimana. Aku melesat meninggalkan 5 peserta lainnya, jauh di belakang..
Ketika hampir mencapai Tere, aku terjatuh, dan lututku berdarah! Astaga.. kenapa begini?? Seperti dugaanku, semua peserta satu per satu melaju melewatiku.. Ah, aku kalah, sudah pasti, umpatku dalam hati.
Saat itulah.. hal yang tidak diduga-duga oleh orang lain—apalagi aku, terjadi. Seorang cowok, salah satu peserta lari estafet itu, menolongku! Padahal tadi dia, jauh—jauh sekali! Hampir mencapai finish! Namun apa? Dia malah berbalik ke arahku, dan menolongku! Oh My God!
Cowok jabrik itu menarik tanganku. “Kamu.. nggak papa, Greysia?”. God, dia tau namaku pula. Am i dream? tanyaku dalam hati, kemudian mencubit pipiku untuk memastikan sendiri jawaban pertanyaan tadi. Yeah, i am not. This is REAL.
“Oi?” cowok itu melambai lambaikan tangannya di depan wajahku.
“Hei, kita ketinggalan tuh!” ujarku panik melihat para peserta yang lain telah meninggalkan kami, jauh di depan sana, gara gara ‘insiden kecil’ ini.
“Ayo!” sekarang giliranku yang menggandeng tangannya.
Kami pun berlari. Sekuat tenaga. Tenagaku juga kembali pulih. Dan aku berlari kencang lagi.
“Greysia ayo Greys!! 4A cayooooo!” Bunga, Diana, dan Sita yang sempat terpana melihat insiden tadi (yeah, bahkan aku juga lo) kini memberikan cheers lagi, itu rasanya… menjadi suntikan tenaga buatku.
Aku melesat lagi, meninggalkan para pelari lain yang mulai kelelahan dan kehabisan tenaga. bahkan ada yang berjongkok di lapangan, sepertinya sih, ia sudah menyerah.
Tapi aku nggak akan nyerah, ini kesempatan buat nunjukin ke temen temen kalo aku juga bisa.. LARI,,, hehehe
Aku takjub, semakin dekat diriku dengan Tere, aku menyerahkan tongkat estafetku, kemudian Tere berlari, menyerahkan tongkat kepada Rio, Rio kepada Aldi, Bunga, Diana, dan terakhir, Sita… Anak itu memang bakat atletik, terutama lari. Dia suka berlatih sejak balita, katanya. Makanya aku nggak heran kalo larinya kuenceng.
Sita semakin dekat…dan.. PTASHHH… Pita bertuliskan FINISH itu pun terputus! Aku dan Kelompokku menang! Thanks God! Aku berjingkrak jingkrak kegirangan sampai akhirnya menyadari bahwa cowok yang menolongku tadi nggak aku liat tadi. Aku harus ngucapin terima kasih nih, aku jadi nggak ngerasain sakit akibat luka lecet yang parah banget pada kakiku gara gara aku jadi sibuk mikirin dia! Upss, ngomong apa aku barusan??
---Selepas Festival olahraga tadi usai dan kelompokku menerima hadiah, aku pergi ke tempat nomer 1 yang pasti dituju anak-anak waktu kecapean, keroncongan, plus kehausan. yap, tau kan? Bingo! KANTIN!
@Kantin
Aku menemani teman teman dekatku makan dengan gelisah. Daritadi bahkan aku nggak makan, hanya mengaduk aduk es tehku saja.
“Nyariin siapa sih kamu Gel? Keliatannya kok, serius banget.” tanya Sita sambil mencomot kue donatnya Gadis ini memang donutholic. Eh salah, lebih tepat kalo foodholic, soalnya makanan apa aja, selalu disamber habis kalo ada dia.
“Iya tuh. Oh.. jangan jangan kamu nyariin cowok yang tadi nolongin kamu yaa?” celetuk Diana.
Wajahku langsung merona, karena niatku ketebak.
“Idih cie…………” goda Bunga
“Apaan sih kalian?” gerutuku
Tiba-tiba.. Cowok yang dibicarain itu lewat! Tadinya aku mau ngomong, tapi entah kenapa, tiba-tiba mulutku terkunci. Rasanya beraaaaaaat banget untuk bangun, dan nyamperin dia, lalu bilang terima kasih, atau sekadar ‘say hi’. Aku hanya bisa menatapnya sampai punggungnya menghilang diantara kerumunan orang.
“Eh Gel, cowok itu kan?? Samperin dong! Bilang makasih!” bisik Bunga sambil menyikut lenganku berulang kali.
“Ogah ah. malu.” jawabku.
“Ish kamu tuh ya! Dia tuh..kalo kata mamaku—gentle! Iya gentle! Dia care banget kan sama kamu.. Bela belain balik buat nolongin kamu, padahal bisa jadi dia kalah. Jarang lho ada temen cowok yang kayak gitu. Biasanya kan, gengsi cowok tuh selangit.” cerocos Bunga lagi,
Whatever deh bung, yang jelas aku malu buat ngomong langsung ke cowok itu. Nggak tau kenapa.
“Yadah, kita duluan ya. Ada ekskul math nih aku sama Bunga. See ya girls.” ujar Sita, kemudian menghampiri Bunga, dan 2 bocah itu meninggalkan aku, serta Diana.
“Hah? Udah di Gerbang? Okok aku pulang mom. Bye.”
Aku menoleh. Oh, rupanya Diana sedang telepon. Aku kirain, dia ngomong sendiri, hehehe.
“Gel, aku pulang duluan gapapa kan? Mama udah nunggu di depan nih. Ntar tolong ijinin ke Pak Ony ya. Aku ijin les gitar hari ini.” ujar Diana, sebelum akhirnya ia tersenyum, dan meninggalkanku juga.
Fyuh.. sendiri lagi.. Mana belum dijemput pula.. Sial kali nasibku!
Aku berjalan menuju kelas… Niatnya mau ngambil tas terus ke aula sekolah nunggu jemputan gitu..
Eh, di tengah jalan, kakiku kambuh lagi! Astaganagaaa sakit banget……
Badanku jadi agak membungkuk menahan sakit,…
dan.. jeng jeng jeng jeng jeng… seakan tau, waktunya dibutuhkan, dia datang lagi! Siapa lagi kalo bukan, cowok itu!!
“Greysia kamu gapapa?”
Aku mendongak, lalu memperhatikan wajah cowok itu. Dheg…. Perasaan apa ini?
Cowok itu mengerutkan kening. Sepertinya karena ucapannya nggak aku respon.
“Ng.. nggak papa kok..” jawabku gugup
“Oh.. Luka kamu kambuh ya?” tanya cowok itu, sementara aku hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan.
“Nih aku pakein plester.”
Ia memakaikan plester pada lutut kananku yang luka.
Aku terdiam. Takjub, baru kali ini punya temen cowok—yang meskipun aku gatau namanya, dia begitu perhatian, begitu care, sama aku.
“Aduh.. kenapa? gambarnya ya? maaf itu punya adekku..” wajahnya merona malu.
Cowok, aku diem bukan karena plester gambar dot bayi itu. Tapi karena kamu, ya, karena kebaikan hatimu, boy. batinku dalam hati
“Hah? enggak kok. aku suka malah.” ujarku cepat sambil tersenyum. Aku takut dia merasa nggak enak karena aku terus-terusan diam.
“Syukurlah..” cowok itu tersenyum manis sekali. Dheg.. dadaku berdesir… perasaan aneh tadi muncul lagi…
“Ayo kita pulang bareng, kamu mau kan?” ajak cowok itu.
Aku mengangguk mantap.
Kemudian tanpa babibu,cowok itu menggandeng tanganku.
Badanku langsung panas-dingin. God aku kenapa sih??
***
“Yaaah hujan..” ujar cowok itu lesu.
“aku.. bawa payung kok..” sahutku lirih, entah kenapa selalu pas aku lagi sama dia—maksudku cowok ini, mulutku berasa terkunci. Seakan akan kalo aku ngomong bakalan ketiban beban 1 ton. Makanya beraaaaaaaat bangeeeet buat buka mulut.
Wajahnya langsung berseri-seri. Aku tertawa kecil. Kok berasa ngeliat anjing tetangga sebelah waktu mau dikasih makan ya? hihihi
“Kenapa ketawa?” tanyanya sambil melebarkan payung milikku.
“Nggak.” seketika aku berhenti tertawa.
“Yaudah, ayo. makin deres nih ujannya.” ajak dia.
Lagi-lagi tanpa ba bi bu, cowok itu menggandeng tanganku. Di tengah hujan deras itu kami berjalan…. Berdua. Tepatnya—sepayung, berdua…
***
“Sampe tuan putri.” canda cowok itu sambil terkikik geli.
Wajahku langsung memerah layaknya kepiting rebus. Yeah, aku tau dia hanya bercanda. Tapi kok? Ah, jadi heran sama diri aku sendiri. Sebenernya aku kenapa??.
Dan aku lebih kaget lagi. Aku nggak nyangka bisa sampe di rumah sendiri. Sepanjang jalan tadi aku nggak ngomong, sekaligus nggak merhatiin jalan. Berarti, cowok itu yang nunjukin jalan, dan aku ngikut aja. Anehnya, kok dia bisa tau rumahku sih???
Baru saja aku mau tanya sama cowok itu, eh dia udah nggak ada di tempatnya. Meninggalkan aku, dan payungku di tengah hujan.
Sejak saat itu aku nggak pernah ketemu dia lagi.
Sejak saat itu, aku menyebutnya Pangeran Plester.
Dan setelah dewasa sekarang ini, aku baru menyadari.. perasaan aneh yang kurasakan pada Pangeran Plester itu—perasaan yang bikin badan panas dingin, perasaan seolah dada ini pengen meledak, perasaan yang bikin wajahku merona lebih merah daripada kepiting rebus, perasaan itu, adalah Cinta.
Ya, aku jatuh cinta pandangan pertama pada Pangeran Plesterku itu yang sekarang entah di mana keberadaannya.
***
Grace tersadar dari lamunan panjang masa kecilnya.
“Ish.. abis ngelamun malah ngelamun lagi..” ujar Vita lalu menjitak kepala Greysia
“Yaaa hehehe”
“Pangeran Plester, lagi?” tanya Vita, nadanya terkesan i’m-very-bored-to-hear-that.
“Yeah, sista” jawab Grace cengengesan
“Kamu beneran love at first sight sama dia ya? Eh salah, cinta mati kali!” tuduh Vita santai sambil memakan keripik kentangnya
“Kangen sih sama dia” jawab Grace jujur.
“Oyeah? Sabar ya, gue aja bakal Long Distance Relationship sama Alvent” ujar Vita.
“He-em”
Vita terdiam sebentar, kemudian menoleh cepat pada Grace.
“Gue rasa bakal ada yang CLBK, atau yeah—semacamnya!” seru Vita girang
”Elu kali.” sahut Grace sekenanya, kemudian mencomot keripik kentang Vita.
“Nyeh?? Gue???? No way laa. kan ada Alvent” saat menyebut nama Alvent wajah Vita berseri-seri “Feeling gue kayaknya elu, deh, Gel”
Grace berhenti mengunyah, lalu menoleh pada kakaknya.
“Semoga.” jawabnya ringan.
Dalam hati ia berharap Iya. Because she miss her ‘Plester Prince ’ so much!
No comments:
Post a Comment