“Serius Ndra. Gue Takut!” Butet mencengkeram lengan baju Hendra kuat kuat.
“Apalagi gue, Tet.” sahut Hendra lalu menggenggam tangan Butet.
Gadis itu menggigit bibir bawahnya.
Mereka berdua pun melangkah masuk ke sebuah rumah megah, tepatnya, rumah Hendra.
“Ayo masuk.” ajak Hendra.
Butet menggeleng. Wajahnya makin pucat saja.
“Kenapa? Takut? Enggak ada monsternya kok. Ayok ah. Buang buang waktu kalo kita cuman disini.” Hendra langsung menarik tangan Butet, dan gadis itu tak kuasa menolak.
Sampailah mereka di ruang tamu…. Disana telah duduk 2 orang. Keduanya adalah ayah dan ibu Hendra.
“Duduk.” ujar Ayah Hendra dingin. Ibu Hendra hanya memperhatikan Liliyana.
Dengan patuh, Hendra dan Liliyana duduk di sofa, berhadap-hadapan dengan kedua ortu Hendra.
“Jadi.. ini perempuan yang kamu maksud?” tanya papa Hendra lagi, penuh selidik. Hendra hanya mengangguk, sementara Butet menunduk.
“Nggak ada apa apanya jika dibandingkan dengan Sansan.”
DHEG. Satu celetukan kecil dari ibu Hendra mulai melukai hati Butet.
“Wajah biasa saja. Pekerjaan? Mama nggak yakin dia sepadan dengan kamu, Hendra.”
Ditambah satu komentar pedas ini, dan tatapan menusuk dari keduanya sekaligus, Butet tak mampu lagi membendung air matanya yang dari tadi memang ingin ia tumpahkan. Dengan cepat gadis itu meninggalkan Hendra dan kedua orangtuanya. Meninggalkan ruangan itu, mencegat taksi, dan pulang ke rumah.
Hendra yang masih bengong, tak sempat mengejarnya. Namun setelah sadar, ia malah berkata pada orangtuanya dengan suara cukup keras,
“Terserah papa dan mama mau bilang apa soal Butet. Dia tetep nomer satu buat Hendra. Hendra nggak sayang Sansan, jadi separah apapun papa sama mama paksa Hendra buat tunangan sama Sansan, maaf, Hendra nggak bakalan pernah nurutin itu.”
Hendra mulai melangkah pergi, hendak menuju ke rumah Butet, gadis malang itu. tapi tiba-tiba langkahnya terhenti,
“Oiya, 1 lagi. Kalau mama sama papa tetep nggak setuju juga Hendra tunangan sama Butet, it’s fine. Nggak papa. Kami tetep bakal tunangan, bahkan kalau bisa langsung kawin lari.” ujar cowok itu santai sambil tersenyum ke arah orangtuanya. Dan Hendra pun benar benar pergi, meninggalkan orangtuanya dengan ekspresi shocked tak terhingga.
***
“Tet, buka pintu!! Jangan gantung diri!!” teriak Hendra sambil menggeedor gedor pintu kamar Butet. Kata orangtuanya sudah sekitar 5 jam Butet ngurung diri di kamar. Bahkan untuk makan pun gadis itu enggan.
Ibu Butet sampai menangis dibuatnya. Begitu Hendra datang, beliau terus saja marah marah sambil berkata, “Kamu apain anak saya?? Kok dia jadi begitu? KAMU APAIN DIA, HENDRA?????”
Hendra yang santai jadi agak khawatir juga mendengarnya. 5 jam nggak keluar kamar, waktu makan sekalipun??
Hendra dengan sabar terus mencoba mengetuk pintu Butet. Mungkin lebih tepat menggedor. Tiba-tiba…
“Apaan sih?”
Cewek yang ditunggu tunggu akhirnya menampakkan batang hidungnya. Bertanya dengan santai, sambil menggosok gosok rambut cepaknya yang basah dengan handuk.
Hendra, serta kedua orangtua Butet hanya bisa melongo memandang Butet. Tampaknya tak ada yang salah. Ya, gadis itu baik baik saja!
“Kamu bikin aku khawatir!” kata Hendra
Butet menautkan alisnya. “Khawatir kenapa?”
“Masa’ 5 jam nggak keluar kamar?”
Gadis itu terdiam.“Cuma capek. Kalian aja yang pada lebay. Kalo aku tidur wajar kan, nggak bukain pintu.” Ia terlihat lesu, cepat cepat ingin menghentikan pertemuan sekaligus pembicaraan yang menyesakkan ini.
Butet hendak berlalu ke kamar dan menutup pintu kamarnya, namun gerakan tangan Hendra lebih cepat. Cowok chinese itu mencekal tangan Butet yang putih, “Aku perlu bicara.” ujarnya pada Butet. Butet hanya memandangnya tajam. Sedetik kemudian, Hendra melirik ke arah ayah dan ibu Butet, memberi isyarat untuk meninggalkan mereka berdua sendirian.
Setelah merek pergi, Butet dan Hendra duduk berdua di beranda samping kamar Butet. Hendra terus menatap Butet, mata gadis itu ternyata memerah, dan ada lingkaran hitam tebal di bawahnya. Barulah Hendra sadar kalau gadis itu bukannya ‘tidak-apa-apa’ tapi ia hanya berusaha menyembunyikan emosinya.
Butet mengalihkan pandangan dari tatapan tajam Hendra. Merasa jengah, akhirnya Butet menyerah, dan membuka pembicaraan.
“Ngapain liatin aku kayak gitu? Risih tau.”
“Maaf banget buat yang tadi. Kesan pertama dari ortuku nggak ngenakkin.” ujar Hendra penuh penyesalan.
Butet balik menatap Hendra, lalu mengalihkan pandangannya ke arah langit. “Udahlah lupain. Aku juga nggak papa kok.”
“Maaf banget Tet… Mereka masih marah karena aku batalin pertunanganku sama Sansan..” suara Hendra tambah memelas.
“Udahlah, nggak papa Ndra!” bentak Butet. Ia menoleh ke arah Hendra lalu menghembuskan nafas, “Aku kan memang nggak secantik Sansan! Pekerjaan, apa sih? Aku cuma pelayan, di café milikmu. apa yang menarik dari seorang Butet? Aku jelas nggak se-perfect dia, aku nggak sepadan sama kamu!”. Air mata gadis itu mulai menetes satu persatu.
“Cukup. Mungkin kita memang nggak jodoh…” Butet berkata dengan suara lirih. Wajahnya benar benar penuh air mata sekarang. Tapi ia berusaha tak terisak, tak terlihat menyedihkan di depan kekasihnya.
“Kamu beneran sayang nggak sih sama aku?” sebuah pertanyaan balasan terlontar dari bibir Hendra.
Butet berhenti menangis. Ia sangat kaget.
Belum hilang kekagetannya, Hendra bertanya lagi, “Apa kita beneran pacaran? Beneran sepasang kekasih?”
Butet tak tau harus menjawab apa. Ia masih sangat kaget.
“Jawab aku Tet, please jujur. Kamu sebenernya sayang nggak sih?”
Butet masih diam. Lalu Hendra memegang tangannya.
“Pandang aku. Kamu sayang sama aku, kan?”
Butet mengangguk kecil, bulir air matanya jatuh lagi. Ia pun memeluk Hendra dengan erat.
“Kita harus kuat Tet. Ini pasti cobaan dari Tuhan. Kalau kamu memang sayang sama aku, ayo kita berjuang bersama. Aku yakin suatu saat hati mereka akan luluh dan mereka akan merestui kita. Percaya itu. Jadi tolong, jangan nyerah ya? Terus ada di sampingku.” Hendra memeluk Butet juga, menenangkan gadis itu yang mulai terisak.
Tangis Butet bertambah deras. Ia merasa sangat malu. Padahal sejujurnya ia benar benar menyayangi Hendra. Kenapa harus ia bohongi perasaannya sendiri? Sebelumnya belum pernah seperti ini, terhadap cowok lain. Ini baru rintangan pertama dalam hubungan mereka, tapi Butet sudah ingin menyerah. Hendra, cowok itulah yang sudah membuka hatinya. Dan sekarang Butet merasa semakin yakin memilih Hendra sebagai pasangannya.
Tekad baru mulai tumbuh, harus kuat!
***
“Kemana saja kamu, jam segini baru pulang??” teriak mama dari dalam rumah. Grace bergidik ngeri, ia mengurungkan niat untuk melangkah masuk.
“Tadi habis nganter temen, ma.” jawab Vita.
“Nganter kemana, kamu ngapain jam segini baru pulang???”
“Ke tempat kerja ortunya. Mobil dia mogok…”
“Kamu mulai bohong ya, mana ada jam segini nganter nganter temen? Jawab Mama, Vita! Kamu kemana saja dan ngapain???”
Vita yang daritadi menahan amarahnya mulai kesal. “Yaudah kalo mama ga percaya! Terserah! Vita capek!”
Vita langsung mengambil kunci sedannya, lalu bergegas keluar rumah. Saat berpapasan dengan Grace di pintu teras, Vita sangat kaget.
“Lo… nguping??” desis Vita.
Grace hanya menunduk.
“Hash!” Vita pun melangkah pergi. Dan dengan kecepatan tinggi, ia memacu sedan birunya.
Grace menghela nafas. Jantungnya masih berdetak sangat cepat. Ia tak pernah melihat kakaknya yang sangat sabar itu semarah ini. Pasti masalah yang dihadapinya sangat pelik, jadi moodnya gampang hilang, batin Grace lalu melangkah masuk ke rumahnya.
***
Grace pergi kuliah dengan wajah bete. Bagaimana tidak, pagi pagi, di saat orang harusnya bersemangat menghadapi hari, segudang aktivitas yang akan dijalani, doi malah kena marah ortunya, gara gara soal sepele : remote tv. Grace lupa dimana meletakkannya. Karena semalam ia yang paling akhir mematikan TV, jelas ia yang dituduh ketika remote TV hilang. Ternyata mamanya sendiri yang menaruhnya di meja makan, saat hendak menyiapkan sarapan, setelah menonton infotainment pagi. Bikin bete berat kan? Dituduh segitunya padahal sejatinya ga salah sama sekali. Ckckck.
“Kenapa ditekuk tuh muka??” tanya Shendy sambil memperhatikan Grace.
“Biasa. Nyokap. Heboh sendiri, puas puasin tuh nyalahin gue. padahal doi sendiri yang teledor. Naro remote di meja makan.” ujar Grace sambil meletakkan tas slempangnya di bangku.
“Sabaaaaar..” kata Pia, sibuk dengan aktivitas paginya : ngemil.
Grace malah makin manyun. “Adaaa aja masalah, ya, kayaknya akhir akhir ini? Huft.”
“Udah, jalanin aja men!” seru Nitya. Yang ini juga punya aktivitas tersendiri tiap pagi : Baca Komik. Nggak pernah lupa bawa komik deh bocah satu ini. Dalam situasi kebanjiran sekalipun.
“Yaaa kalian enak bilang begitu, kaga ada masalah juga! Ohya, enaknya gue nerima kak Rian ga ya??”
Serentak Pia, Nitya, Shendy menoleh. “LO DITEMBAK KAK RIAN???”
Grace mengangguk dengan watadosnya.
“Gila lu! Kak Rian tuh kan famous ya di kampus, tapi dia pilih pilih cewek banget. Berarti tipenya yang chubby endut kayak lo gini ya??” celetuk Shendy, mengundang tawa Nitya Pia.
Grace manyun lalu menjitak kepala Shendy.
“Hehe, sorry sorry.. Trus lo trima ga cin?”
“Makanya gue tanyaaaaa, karena belum gue jawaaaab.”
“Yaaaa, udahlah terima aja. Lo juga jomblo kan?” seru Pia
Grace manggut manggut. “Tapi kan…”
Tiba-tiba….
“GRACE!!!! LO KUDU LIAT!!! KE SINI CEPETAN!!!”
Teriakan sangar ala Shendy mengagetkan Grace, memotong ucapan gadis itu.
“Apaan sih??” tanya Pia, bangkit dari kursinya, lalu menuju ke luar.
Nitya menyusul, sementara Grace masih terdiam di bangkunya, penasaran.
“GRACE!!! AAAA CEPET KE SINI!!!”
Tau tau keduanya sudah ikutan heboh seperti Shendy.
Grace jadi penasaran sekalipun masih Bete. Dengan malas, ia bangkit dari kursinnya, dan pergi keluar.
“Liat ke lapangan di bawah.” instruksi Nitya sambil senyum senyum. Ketiganya memang berada di lantai dua.
Grace pun menurut. Dan.. WHAT???
Ahsan memegang payung, tapi tubuhnya basah kuyup (saat itu memang sedang hujan deras). Cowok itu berdiri di tengah lapangan, sambil melambaikan tangan dan tersenyum pada Grace.
“Dasar bodoh!” gumam Grace, lalu Grace pun bergegas turun ke bawah melalui tangga.
***
@lapangan
Grace pun basah kuyup. Ia tak peduli lagi. Di pikirannya sekarang cuma Ahsan. Mau apa sih sebenernya cowok ini?
Ahsan masih tersenyum. Lalu ia menggandeng Grace ke bawah pohon.
“Sampe, tuan Putri.” ujarnya.
DHEG. Darah Grace berdesir cepat. De ja vu. Rasanya pernah ada orang yang mengucapkan ini sebelumnya ke dia.
Nggak hanya itu, tiba-tiba Ahsan mengeluarkan sesuatu…seperti.. plester!
“Masih inget ini?” tanya cowok itu, tersenyum misterius.
Grace terkesiap. Plester gambar dot bayi. Itu berarti.. Plester Prince…??
“Festival Olahraga SD, 15 Januari 1993. Lari estafet kelas 4 SD.”
Ucapan Ahsan ini membuat Grace benar benar mati kutu. Kaget setengah mati.
Tanpa sadar Grace bergumam.. “Plester Prince?”
“Sorry?” Ahsan terlihat heran.
“Ehm.. maksudku..Kamu.. yang ngasih plester waktu itu?.. Yang nolongin waktu aku jatuh.???”
Ahsan hanya mengangkat bahu. Tapi senyuman cowok itu sudah menjelaskan semuanya.
Grace langsung tersenyum. Dengan bahagia dipeluknya Ahsan. Ahsan pun balas memeluk Greysia. Mereka tak mempedulikan ‘penonton sekaligus supporter’ mereka, di lantai 2, yang menyaksikan langsung adegan romantis ini.
Grace terlalu bahagia, sampai meneteskan air mata. Akhirnya ia menemukan pangeran plester yang selama ini selalu dirindukannya.
“Wanna be my girlfriend?” bisik Ahsan, masih memeluk Grace.
“Sure. For everything.” jawab Grace sambil mengangguk mantap. Entah kenapa ia nggak sreg sama kak Rian, meskipun ia merasa nyaman.
mungkin karena hatinya memang masih terpaut pada sang Pangeran Plester :)
No comments:
Post a Comment