Dress-Up Game :3

Tuesday, November 30, 2010

Full-Surprise-Life Part 14

Tak terasa 2 bulan sudah Simon dirawat di Rumah Sakit. Maria masih setia menemaninya sekaligus merawatnya.

Hari ini Simon mulai berlatih jalan untuk memulihkan kedua kakinya yang sempat cedera sehabis kecelakaan tempo hari.Seperti biasa Maria mengekor di belakangnya, mengikuti setiap proses.

“Ngapain sih ngikutin aku terus? Emang aku emakmu?” goda Simon sambil membenahi kruknya yang dipegangi Maria

“Oke, aku lepasin nih. Serius” Maria berubah jutek

“Gitu aja marah sih” Simon mencubit pipi Maria. Langsung saja pipi gadis itu memerah karena malu.

“Ehem. Maaf nih ganggu acara pacarannya.” sela seorang instruktur yang akan melatih Simon sambil tertawa kecil.

Giliran Simon yang kini dengan canggung melepaskan tangannya dari pipi Maria. Cowok itu ikutan tersipu.

“Yuk kita mulai aja sesinya sekarang. Pertama latian pake kruk dulu ya, jalan biasa dari sini sampe situ. Dipegangin, ntar lama lama dilepas.” jelas sang instruktur panjang lebar.

Simon mengangguk. Ia pun mulai berjalan, dipegangi oleh Maria. dan… berhasil.

“Lancar ya. Syukurlah. Skrg coba ga usah dipegangin mbaknya..”

Simon berjalan lagi.. Maria menunggui di dekatnya dengan cemas.. Tiba-tiba kruk Simon terlepas.. badan Simon oleng ke kiri… sepertinya akan jatuh.. tapi.. Maria berhasil menangkapnya dengan sigap.

Simon terlihat sangat shocked, ia tidak menyangka akan jatuh.

“Hm.. kita coba lagi,,” sahut Instruktur.

Simon bangkit dari rangkulan Maria. Kakinya bergetar getar tak karuan.

Ia mulai berjalan, namun… jatuh lagi.

Simon mulai berkeringat dingin. Bayangan bayangan akan kelumpuhan total atau pemakaian kruk seumur hidup mulai memenuhi benaknya. Ia terlihat sangat lemas dalam pelukan Maria.
“Jangan nyerah, Mon. Kamu bisa.” bisik gadis itu lembut di telinganya. Terdengar yakin, walaupun Maria sendiri menahan air matanya agar tidak tumpah, seandainya kemungkinan terburuk benar benar terjadi. Simon masih diam. Matanya menerawang kosong. Melihat itu, tangis Maria semakin ingin tumpah. Dan ketika air matanya mulai mengalir di kedua pipi, gadis itu cepat cepat menghapusnya. Ia tak ingin membuat Simon down, dan semakin khawatir. ‘Aku harus optimis. Percaya kalo yang di atas pasti kasih yang terbaik buat Simon!’ ujar gadis itu yakin dalam hatinya.

“Sabar ya… Memang butuh proses...” ujar Instruktur sabar.

Maria mengangkat lengan Simon perlahan. Simon menggeleng keras keras. Wajahnya menampakkan keputusasaan yang amat sangat.

“Aku udah capek. Udahlah Mar, ini nggak mungkin berhasil.”

Ucapan Simon yang ‘pasrah’ bikin Maria pengen nangis lagi nyampe banjir. Tapi dia kan udah janji, so don’t cry.. :’)

Maria memperkuat genggamannya. “Jangan cengeng, Mon. Optimis, dong!” seru gadis itu sambil tersenyum.

Simon pun mengangguk lemah, memaksakan sedikit senyuman. Ia bangkit tertatih dibantu Maria, lalu mulai berjalan lagi..

Awalnya cowok itu agak kesusahan.. Lama lama ia mulai terbiasa. Seringkali ia oleng, ingin menyerah juga, tapi ia bangun lagi melihat Maria di seberangnya yang terus menyemangati.

Akhirnya Simon berhasil menyebrang dengan sukses. Meskipun kaki kakinya lecet karena berulangkalli jatuh tapi toh akhirnya ia berhasil. Seketika itu juga ia memeluk Maria. Gadis itu menangis penuh haru.

“Apa kubilang. Simon hebat!” seru Maria di sela tangisnya.

Mereka berdua pun berpelukan cukup lama, diiringi tepukan haru bercampur keki dari sang Instruktur yang daritadi merasa ‘tidak dianggap’ dan dijadikan peran figuran dalam mellow drama ini (?????)

***

Vita merasa ada yang aneh pada Alvent akhir akhir ini. Vita merasa Alvent menjauhinya! Tiap kali mereka papasan Alvent membuang muka. Tiap kali diajak ngomong, Alvent ogah ogahan gitu. Sampe sampe tiap kali di-sms ga pernah dibales dan tiap kali telepon di-reject. Parah.

“Eh tet… alvent kok gitu ya ma gue sekarang..” tanya Vita dengan muka manyun.

“Meneketehe” sahut Butet asal tanpa ‘berpaling’ dari layar laptopnya.

“Ish Butet gitu ah.. sama aja. Gue mau ngambek aja kalo gitu!” ujar Vita kesal lalu merebahhkan kepalanya di atas meja.

“Yayayaya deh. Tapi aku serius gatau kak Vitroooong”

“Menurut kamu aja deh Tet.”

“Ehm…”

“Waduh.. jangan jangan gara gara aku ngajak dia jalan waktu itu… ya?”

“Yang mana??? Yang katanya ko Alvent sampe mau pingsan itu??”

Vita mengangguk sambil tertawa jahil.

“Yaaah habis kakak siiiih, udah tau koko tuh alergi ketinggian sama darah malah diajak naik roller coaster, ayunan gantung, sama rumah hantu sagala!”
omel Butet

“Sorry deh…” Vita masih nyengir “cuman pengen ngerjain ajaaa kok.. tp… masa’ sih dia marah segitunya cuman gara gara kencan waktu itu???”

“Ya Ampun kak Vit! Pasti ko Alvent trauma lah..”

“Alvent trauma pacaran sama aku, gitu?” tanya Vita dengan wajah polos

Butet jadi gemas sendiri. Setelah melempar bantal ke wajah kakaknya yang kadang rada telmi itu, ia melenggang keluar kamar.

“Yaaah ditinggal..” ujar Vita. Ia melirik hapenya. 15:15. Sudah 15 menit sejak ia mengirim sms ke Alvent. Tak ada satupun balasan. Huft, Vita hanya bisa menghela nafas. Hanya ada satu pertanyaan yang terus berputar di otaknya, ‘Kamu kenapa sih Vent????’

***

Sejak insiden kecil ‘nembak nggak langsung’ tempo hari, Grace sama Ahsan jadi suka canggung kalo ketemu. Pokoknya hubungan mereka berdua jadi aneh deh.

Sore itu… @kampus

Grace papasan sama Ahsan. ‘sial banget gue’, .Seperti biasa, Grace menundukkan kepala, dan Ahsan memalingkan wajah tak acuh.

Grace menghela nafas panjang.”Lagi, lagi”, batinnya sedih. Grace menerawang memperhatikan sosok Ahsan yang makin menjauh. ‘Aku nggak mau kita kayak gini terus, San..’

Begitu terus berulang-ulang. Antara Greysia & Ahsan. Sementara di sela sela pikiran Greysia tentang Ahsan yang menjauhinya,,, di samping Grace selalu ada Rian. Cowok itu terus-terusan mendampinginya. Pulang sekolah dianterin, makan siang ditemenin, tiap satnite diajak jalan.. Mereka berdua bahkan sering disangka pacaran. Keduanya juga sepertinya nggak sungkan ngaku, Rian kalo ditanya paling ketawa ketiwi ga jelas, sementara Grace cuma diam tapi wajahnya memerah. Walaupun begitu, Grace nggak sepenuhnya bahagia. Masih ada ‘persoalan’ dalam hatinya yang mengganjal. Tapi apa? Grace sendiri juga tak yakin.

***



Butet terbangun dengan kantong mata tebal di wajahnya. Setelah yakin matanya beneran melek, cewek berambut cepak ini beranjak ke depan cermin besar di pojok kamarnya.

Kalo cewek cewek biasanya kaget setengah mati, bahkan sampe nangis nangis waktu tau ada ‘lingkaran hitam’ menodai wajah mereka, nah cewek yang satu ini beda lagi. Doi malah ketawa ngakak kenceng banget liat wajahnya sendiri, sampe guling guling di kasur. Yah, walopun abis itu Butet nangis lagi. Air matanya jatuh sendiri, sih, waktu aku tanyain. Hmmm…Pasti deh, inget Pak Hendra, lagi!

***

“Ish, Butet!!!! Wajahmu, nduk!!!” teriak Maria kaget melihat kantong mata tebal made in Butet’s eyes.

“Hehe” Butet nyengir maksa abis.

Wajah kaget Maria berubah datar. Ia menghampiri Butet lalu menepuk pundaknya.

Butet menoleh ke arah Maria.

“Lagi ada masalah, ya? Cerita dong..” Maria tersenyum.

“Enggak kok.” balas Butet sambil tersenyum.

“Bohong. Ntar pak Hendra nggak naksir lagi lhoh.”

Niatnya Maria sih mau bercanda.. tapi karena timingnya nggak tepat, and… he’s the main trouble, Butet malah nangis sejadi-jadinya. Air mata membanjiri kedua pipinya yang putih.

“Yaaaa, eh, eh, kok malah nangis, duh, aku salah ngomong ya?? Maaf tet!!!!” ujar Maria gelagapan. ia terlihat salting.

“Ngg..nggak papa kok,Mar..”

Maria menghela nafas. Ia akhirnya tau, MASALAH UTAMANYA adalah Hendra.
“Kamu.. mau cerita?” tanya Maria ragu ragu sambil merangkul sahabatnya.

“Nanti ya…. aku butuh nangis dulu sekarang. Kalo aku udah siap aku pasti cerita kok….Hikss…” Butet menutupi wajahnya yang penuh tangis dengan kedua tangannya.

Maria cuma bisa mengelus elus pundak Butet sambil menenangkan gadis yang sedang patah hati itu.

***

“Bapak ada hubungan apa sih sama Butet?” tanya Maria kepada Hendra, mungkin lebih tepat disebut ‘interogasi’

“Hah? Kamu ki ngomong opo toh, Mar??” sahut Hendra, kaget disodori pertanyaan pribadi oleh pegawainya sendiri.

Maria menghela nafas lagi. Panjaaaang. Seharian ini dia harus dibikin pusing oleh masalah masalah sepasang sejoli.

“Halah, udah ngaku aja tho pak. Bapak itu ada hubungan apa sama Butet? Terus bapak apain dia, ha??!” suara Maria yang lembut berubah kasar,

“Aduh, Mariaaa, kamu itu bicara apa? Saya nggak ngerti!” Pak Hendra menghentikan pekerjaannya.

“Jangan pura-pura nggak tau! Liat Butet, dia nangis nangis waktu saya bilang nama bapak. SEKARANG JANGAN NGEHINDAR LAGI, PAK. BAPAK NGAPAIN BUTET???”

Mendengar itu Hendra tertawa keras keras. “Saya tu nggak ngapa-ngapain sama Butet, kita nggak ada hubungan apa-apa. Cuma relasi kerja, sudah.”

tapi tiba-tiba wajah Hendra menegang, cemas. “Tadi kamu bilang Butet nangis?”

“Iya, tuh, di pojokan, sampe sekarang belum berenti!”

Pak Hendra melirik Butet. Ia terlihat masih sesenggukan, dengan kedua tangan menutup wajahnya.
“Cuma teman??? lalu kok Butet sampe nangis gitu gimana tuh pak? Ini semua pasti ada hubungannya sama bapak! Pasti!” ujar Maria penuh keyakinan. Udah kayak hakim di pengadilan ajah, atau Sherlock Holmes/Conan (????????)

Pak Hendra terdiam. sepertinya berusaha memutar kembali memori dalam otaknya.

“Mikir atuh, pak.. Coba terakhir bapak ketemu Butet aja deh.”

Pak Hendra masih diam.
‘Pagi aku kerja biasa, dia juga, sorenya aku ke café, ketemu Butet, disuruh ganti soalnya aku basah kuyup. Terus hapeku bunyi, aku terima telfon. Pas udah selesai telfon Butet dah di depan pintu.. Butet emang kayak nangis sih waktu itu. Tapi kenapa??? Aku salah apa???

“Udah inget pak?” tanya Maria, sudah berubah kalem lagi.

Hendra hanya mengangguk.

“Kalo gitu ceritain.”

Dengan patuh Hendra pun menceritakan semuanya.

“Hm.. apa yang bapak omongin di telfon?”

Wajah Hendra memerah. Habis yang diomongin di telfon kan, pertunangannya. Hah, ya!!! Pertunangan!!! Tapi.. masa’ Butet Marah gara-gara itu????? Emang apa hubungannya sama Butet???

Pak Hendra tersenyum sendiri. Sepertinya ia sudah tau titik terang masalah Butet. Ia langsung meninggalkan Maria, lari menuju Butet. Maria terbengong bengong memperhatikan dua sejoli itu.

“Tet..” Hendra berjongkok di depan Butet.

Seperti mengenali suara itu, Butet enggan membuka kedua tangan yang menutupi wajahnya.


Mereka diem dieman cukup lama. Pak Hendra dengan sabar terus membujuk Butet untuk bicara. Akhirnya Butet luluh juga.

“Apa?” tanya gadis itu sangat singkat. Dan ternyata ia hanya membuka tangannya sebatas mata.. Hidung ke bawah masih ditutupi juga.

“Kamu kok nangis, kenapa? Kata Maria gara-gara saya, ya?” tanya Pak Hendra dengan wajah yang benar benar polos.

Butet ingin sekali berteriak ‘Iya gara gara kamu, jelas banget INI SEMUA GARA GARA KAMU. gara gara kamu… kayaknya gara gara kamu tunangan. aku sendiri nggak tau kenapa, Ndra! tapi yang jelas gara gara kamu aku nangis semalem suntuk, bantalku semua basah kena air mata, dan lingkaran mata ini, semuanya gara gara kamu Ndra! gara gara kamu!’

tapi niatnya diurungkan. Gengsi + tengsin dong. Apa apaan lah aku, kok malah jadi curcol sama dia. Jadi Butet diam saja.

“Tet,?”

“Udahlah. Lupakan.” Butet bangkit, setengah berlari keluar kafe.

Pak Hendra mengejarnya, lalu mencekal tangannya.

“Tet, kamu kenapa? Marah sama saya?? Kalo iya marah kenapa? jelasin dong Tet… jangan bikin saya ngerasa bersalah!”

“Nggak. Bapak nggak salah apa-apa. Ini semua salah saya kok. Lagian udah saya bilang lupain ya lupain!”

Butet berontak tapi tangan Hendra kelewat kuat.

“Kamu.. cemburu, saya tunangan..?” tanya Hendra ragu-ragu

“Nggak lah!” elak Butet, tapi kontan saja wajahnya memerah.

“Liat aku, Liliyana. Liat aku.” seru Hendra, tangan kirinya memalingkan wajah Butet agar menghadap ke arahnya.

Wajah Butet masih merah, dan ia masih berusaha berontak.
“Kamu cemburu kan?”

“Nggak!!”

“Bohong. Kamu bohong.”

Butet mulai jengkel. “Iya, emang, saya cemburu, dan saya nggak tau sejak kapan saya naksir bapak!!” teriak Butet, “Tapi toh percuma aja, bapak udah tunangan. Dan saya harus lupain bapak, gitu kan??” suaranya meninggi, air mata menggenangi pelupuk matanya. Butet bisa sedikit terlepas dari tangan Hendra.

Saat Butet hendak lari.. Hendra lagi lagi mencekal tangannya, membalikkan wajahnya ke arah cowok itu. Daaan, Hendra mencium Butet! Tepat di bibir cewek putih itu. Ciuman yang manis dan lembut. Membuat Butet melayang layang.

“Aku emang udah ditunangin. Tapi aku cuman sayang sama kamu Tet. Cuma cinta sama kamu. Sejak pertama, aku udah suka. Dan rasa suka itu berlanjut hingga detik ini, aku harap seterusnya. Aku bener bener sayang sama kamu dan aku cuma mau kamu.”

No comments:

Post a Comment