Dress-Up Game :3

Tuesday, November 30, 2010

Full-Surprise-Life Part 15

“Vent aku mau ngomong..”

“Apa?”

“Eng..”

“Ah buang buang waktu aja. Aku pergi. Bye”

“Vent, kamu kok gitu sih?” Vita menyentak tangan Alvent

“Apanya?”

“Ya kamu itu!” Vita mulai kesal

“Enggak tuh, Biasa aja. Kamunya aja yang lebay.”

Vita mendelik. Sumpah, ngajak berantem banget, pengin gue timpuk pake helm ya ni cowok. Sialan!!

“Ngeselin!!” ucap Vita, lalu pergi meninggalkan Alvent setelah mendorong bahunya.

Alvent hanya mengerutkan alisnya lalu melangkah pergi juga.

Vita benar benar tak habis fikir. Alvent yang disayanginya berubah cuek dan acuh. Gadis itu berjalan pulang ke rumahnya yang hanya berjarak 3 blok dari kontrakan Alvent sambil ngedumel.

***

Sementara Vita lagi bingung dan gondok dicuekin terus sama Alvent, Grace dan Rian malah makin deket.

Bahkan Rian makin berani megang tangan Grace. Grace sendiri nggak menolak. Dia ngerasa nyaman sama Rian, nyamaaan banget. Tapi tetep aja Grace merasa ada yang kurang. Kurang rame, dan agak kaku kalo sama Rian. Nggak bisa canda candaan, ledek-ledekan, kejar kejaran dan gokil gokilan bareng. Nggak kayak waktu sama Ahsan. Grace mulai agak menyadari, mungkin kekosongan hati yang dirasakannya sedikit banyak karena cowok itu. Karena Ahsan nggak berada di sampingnya.
***

“Alamaaak!” teriak Butet yang baru pulang dari jogging. Wajahnya yang putih itu bermandikan keringat.

“Kenapa? Mau lo??” tanya Vita ketus sambil melahap rujak pedas di depannya dengan lahap.

“Udah 3 piring???” Butet balik tanya, kaget bercampur heran. Padahal biasanya sepiring aja Vita nggak abis.


“Ho-oh. glek.” sahut Vita sambil bersendawa, membuat Butet bergidik jijik.

“Stress ya lo?”

“Banget!. Sumpah, Alvent minta dimakan abis. Kayak rujak inih.”

“Sabaaaar.” Butet menepuk pundak kakaknya sambil tersenyum. (Butet sudah bisa tersenyum lagi sekarang, moodnya sudah kembali setelah ‘perisitiwa’ kemarin hahaha)

“Makasih ya Tet tapi kesabaran gue udah habis. Makan tuh cinta! Marah ga tau juntrungannya. Jelasin kek ke gue, kenapa dia marah! Kalo gini kan jadi ga jelas! Nggantung!” Vita meneruskan omelannya sambil mencomot bengkoang ke-5nya atau yang ke-6.

“Aduuh udah deh yaa, aku juga masih pusing nih. kakak jangan nambah bikin pusiiing!” Butet balas mengomel lalu berlari ke kamarnya.

“Argh Bete!”

Tiba-tiba Grace datang….

“Asiiik ada rujaak!” seru gadis berpipi gembil itu riang.

“Woooiii, jatah gue nih!”

“Alaah bagi bagi doong. Lagi stress nih!” Grace tetap meneruskan makannya.

“Wah, stress juga kamu??” Vita terlihat senang

“Ada orang stress kok malah seneng” gerutu Grace

“Soalnya aku ada temennya, hehehe”

“beuuuh”

Mereka berdua pun melahap rujak bagian masing masing.

***

@Butet’s room

Butet merebahkan badannya di kasur. Rasanya penat sekali setelah lari lari keliling taman kota dengan kecepatan tinggi.

Terlebih lagi memikirkan besok pagi. Semakin membuat kepalanya pusing. Apa aku siap?

***
Simon & Maria semakin dekat saja nih. Setelah Simon sembuh total dari cedera karena kecelakaan tempo hari, mereka makin sering menghabiskan bersama. Maria pun terlihat sudah mulai membuka hati untuk Simon, pria yang sempat berulangkali membuatnya jengkel.


Sore itu seperti biasa mereka duduk duduk berdua di taman kota.

“Hahaha nggak bisa lari dasar gendut” ledek Maria kepada Simon

“Heh liat dong, sendirinya tuh nggak kalah gendut!!”

Ganti Maria yang manyun.

lalu mereka tertawa bersama sambil memandang aurora di langit senja yang indah.


“Oiya, Mon.” kata Maria tiba-tiba

“Hem?”

Maria terdiam sejenak sebelum melanjutkan ucapannya,
“Mmm….. makasih banget kamu udah rela nolongin aku yang ngeselin ini. Sampe sampe kamu sendiri yang jadi korban. Aku bener bener ngerasa bersalah Mon. Jadi nggak bisa berenti minta maaf nih..” Maria terlihat sangat menyesal.

“Udahlah. Jangan diinget-inget yang udah lewat.” jawab Simon santai.

“Tapi,, kenapa? kenapa kamu nekat nolongin aku? padahal biarin aja aku yang mati, dan kamu ga harus jadi korban, kan?” Maria bertanya lagi. Gadis ini begitu penasaran rupanya.

Simon diam sejenak sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Maria dengan gaya santai, “Simple aja. Karena aku sayang kamu, Mar.” Senyum manis khasnya mengembang lebar.

Maria langsung membeku. Salah tingkah, ia berbalik menatap hamparan rumput hijau yang bergoyang goyang di depannya.

“Sayang sebagai apa? Temen kan?”

“Sebagai cewek, aku cowok dan kamu cewek, aku sayang kamu, lebih dari sekedar temen atau sahabat, itu aja. Singkat kan?” Simon tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.

“Hah?” Maria menggigit bibir bawahnya, masih mencoba menerka ‘maksud terang’ dari ucapan Simon.

“Hfff” Simon menghela nafas.

“Aku dulu sering banget ngerasa sebatang kara. Susah dapet kerjaan yang bener Mar jaman sekarang. Mana ortuku ga mau tau kehidupanku lagi. Soalnya mereka ga setuju aku cari kerja. padahal aku cuman mau mandiri, wajar dong, aku anak lelaki paling tua. Tau sebabnya?”

Maria menggeleng.
“Sepele. Papa pengin aku jadi penerus perusahaan. Tapi aku ga mau, terus aku diusir dari rumah. dan nggak ada yang bela aku.” Simon tertawa, pahit.

“Jadi ya karena udah setengah jalan, ya sekalian aja.” lanjut Simon lagi.

“Maksudnya??” tanya Maria

“Aku buang semua kartu kredit pemberian papa, mobil juga aku kembaliin kuncinya. aku bawa sekoper baju, dan minggat dari rumah cuma dengan persediaan uang dari tabungan pribadiku. haha” kenang Simon

“Aku luntang lantung di jalan kayak orang gila. Awalnya berat sih, kayak musafir, nomaden, apalagi uang simpananku makin tipis. Tapi akhirnya kebiasa juga. Aku sering lho makan cuma sekali sehari.”

Simon diam lagi. Agak lama, lalu menatap mata Maria dalam dalam. “Dan kamu tau, apa yang membuatku semakin semangat menjalani rutinitas sehari hari yang membosankan? Kamu, Mar. Setelah bertemu kamu aku yakin, semakin yakin kalau jalan yang aku ambil ini benar.”

“Aku merasa aku cowok paling beruntung karena bisa ketemu cewek se-amazing kamu.” senyum Simon yang super manis itu terkembang lagi di bibirnya, membuat Maria sempoyongan.

“Gombal!” Maria meninju bahu Simon keras, sampai cowok itu terjatuh.
Meski begitu, mata Maria sesungguhnya mulai berkaca-kaca. Ternyata dia udah salah menilai Simon selama ini. Upaya ‘mendorong jatuh’ Simon tadi tak lain agar cowok berambut cepak itu nggak melihat air matanya yang mulai mengalir turun.

Ketika Simon bangkit kembali ke tempat duduknya, ia melihat Maria sedang menyeka air matanya.

“Kenapa nangis?” Simon tersenyum lalu membelai poni Maria.

Maria tak menjawab. Tiba-tiba saja ia memeluk Simon dan Simon pun membalas pelukannya.

Beberapa menit kemudian Maria terlihat sudah lebih tenang.

“Kamu jahat, seperti laba-laba, menjerat aku dalam pintalan benangmu.” Maria menatap Simon sejenak. “Tapi aku nggak masalah kejiret benang milik laba-laba seinnocent kamu :)” Maria tersenyum. Manis sekali. Cowok cowok kliyengan, tak luput pula Simon.

Mereka berdua duduk berdampingan sambil menatap sunset senja yang elok dari kejauhan.

***
Hubungan keduanya setelah itu tetap seperti biasa. Mesra tapi tetep jaga jarak. Maria dan Simon emang belum mengikat hubungan secara langsung, mereka merasa lebih enjoy dengan hubungan ‘sebatas itu’ sekarang. Tapi, ingat, nggak ada yang nggak mungkin ;) Siapa tau nanti mereka berjodoh, atau malah sudah terikat benang merah sejak awal pertemuan? Only God knows :)

***

“Grace, pulang bareng yo!” teriak Rian dari kejauhan.

Grace menoleh lalu tersenyum. “Ayo ayo aja.” jawab gadis itu.

“Tapi kita main bentar ya? Gpp kan?” seru Rian lalu membuka pintu mobilnya.

“Kemana?”

“Ada deh. Tempat asik pokoknya.” Rian tersenyum nggak jelas.

“Ya udah,” Grace melirik arloji di tangannya. “Tapi jangan lama lama.”

***

“Dah sampeeeeeee” teriak Rian senang. Heboh, seperti anak kecil yang diberi permen.

“Hah?” Grace Melongo.

Cowok macho seperti Rian mengajaknya ke TAMAN BERMAIN??? Ini nggak kebalik, biasa juga cewek yang ngajak ke taman bermain.
“Mau ngapain??” tanya Grace ogah-ogahan.

“Maen dong! Ayo!”

Tanpa ba-bi-bu, Rian pun menarik tangan Grace.

***

Setelah puas mencoba permainan-permainan, mulai dari yang soft seperti komedi putar (!!!) sampai extreme game macem jet coaster, akhirnya dua bocah itu beristirahat sejenak.

“Aku tinggal dulu ya? Jangan kemana mana, tunggu disini!” ujar Rian lalu berlari pergi.

Grace hanya mengangguk lemah. Badannya benar benar penat. Ia lalu duduk di sebuah bangku sambil mengibas ngibaskan tangannya.

Ia tak menyangka, bisa melihat ‘sisi lain’ dari Rian. Yah, agak ilfeel juga sih, ternyata doi agak childish, berbeda dari bayangannya selama ini.

Nyess! Grace merasa pipinya dingin.

“Hehe, sorry, nih buat kamu.” Rian tertawa kecil lalu menyerahkan sebotol minuman dingin pada Grace.

“Thanks.” Grace tersenyum lalu menerimanya. Biarin deh childish, kalo perhatian gini.


*Malam..

2 bocah tadi rupanya belum mau pulang juga. Masih aja keluyuran. Eh akhir akhirnya Rian ngajakin naik bianglala.

“Naik bianglala yuk. Pemandangannya bagus lho dari atas.” ajak Rian.

Grace diam.

“Eh.. sorry kalo lo ga mau. Kita pulang aja?”
“Nggak kok. Gue mau. Yuk.” jawab Grace.

@bianglala (not biang keringat, okay.)

Keduanya larut dalam diam.

“Kok.. jadi diem gini sih?” tanya Grace geli, membuka pembicaraan dan mencairkan suasana.

Rian menatap Grace lekat lekat. Sementara Grace menunduk, ada sedikit perasaan malu dipandangi begitu.

“Grace..”

“Ap..apa..?” Tiba-tiba Grace menjadi gugup. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Dan ada sedikit rasa GR muncul dalam hatinya.

“Di rambut kamu ada es krim, tuh.”


BUSYET! Batin Greys. Keki, canggung, gondok. Itulah yang kini dirasakan gadis itu. Sambil merutuk perlakuan ‘super ga romantis’ Rian barusan, Grace membersihkan sisa es krim pada rambutnya dengan selembar tisu.


“Udah bersih kan?” tanya Grace jengkel. Jadi badmood, tauk, batinnya.

“Udah. hehehe”

Lalu.. suasana hening lagi.

“Grace aku mau ngomong. serius, penting.” ujar Rian memecah keheningan untuk kedua kali.

“Ya?” Grace tak terlalu antusias. takutnya dibikin keki lagi sama Rian kayak tadi.

“Aku sayang kamu. Mau nggak kamu jadi pacarku?”

Grace membeku seperti balok es dalam kulkas. Ia tak tau mesti menjawab apa. Meski sering ke-GR-an duluan, cewek berpipi gembil ini nggak nyangka bakal ditembak ‘to-the-point’ kayak gitu!

***

“Butet, kamu udah siap?” tanya Hendra

Yang ditanya diam saja. Seperti digembok mulutnya. Dari dahi gadis itu keringat mengucur deras. Wajahnya juga pucat, sangat kontras dengan kemeja hitam yang dikenakannya.


“Saya…” ucapan Butet terpotong oleh seruan Hendra yang bernada khawatir.

“Tet, kamu sakit ya?? Kalo sakit besok aja deh!! Ayo, kamu harus istirahat!”

“Aku nggak sakit..” Butet akhirnya berhasil bersuara. “cuma…. takut...” gadis itu menunduk lemas.

Lalu Hendra tersenyum, sedikit terpancar kelegaan cewek pujaannya ternyata nggak sakit.

“Nggak papa, kan ada aku.” ucap Hendra lalu merangkul Butet mesra.

“Tapi…”

“Udah deeeh, kalo kamu ga sakit ya kita cabut sekarang aja, yuk. Aku juga sama groginya sama kamu, dear.”

Hendra menggandeng Butet ke mobil dan mobil sedan hitam itu pun melesat pergi.

No comments:

Post a Comment