Dress-Up Game :3

Tuesday, November 30, 2010

Kita semua pastinya pernah mendengar kata-kata phobia. Sebenarnya, apakah phobia itu? Apa saja jenisnya? Dan bagaimana kita bisa menyembuhkannya? Marilah kita mengupas hal-hal tersebut lewat posting ini. Kata phobia sendiri asalnya berasal dari kata Yunani 'phobos' yang artinya takut berlebihan. Tanda-tandanya adalah akan terjadi gejala ketakutan akut, berdebar, merinding, muntah, teriakan, atau bahkan dapat berujung pada ketidaksadaran penderita alias pingsan. Phobia merupakan gangguan kecemasan terhadap stimulus atau situasi tertentu yang pada dasarnya tidak membahayakan bagi orang secara umum, akan tetapi individu tersebut mengalami peningkatan kecemasan yang tidak lazim dibandingkan dengan orang lain yang menghadapi stimulus atau situasi yang sama. Individu tersebut menyadari bahwa rasa takut itu tidak rasional, akan tetapi tetap sulit untuk menahan dan berpura-pura untuk tidak takut.


Berbagai jenis phobia menghantui kehidupan kita, antara lain :

* Xantophobia. Takut akan warna atau kata kuning.

* Pyrophobia. Takut terhadap api.

* Porphyrophobia. Takut terhadap warna ungu.

* Pediophobia. Takut terhadap boneka. Yang dimaksud boneka di sini adalah boneka yang berbentuk seperti manusia.

* Paraskavedekatriaphobia. Takut terhadap hari Jum'at yang jatuh pada tanggal 13 (Friday the Thirteen).

* Octophobia. Takut angka 8.

* Noctiphobia. Takut terhadap malam hari.

* Muriphobia. Takut terhadap tikus.

* Melanophobia. Takut pada warna hitam.

* Levophobia. Takut pada semua benda yang ada di sebelah kirinya, bahkan meskipun itu hanyalah tembok.

* Lachanophobia. Takut pada sayuran.

* Koinoniphobia. Takut pada kamar atau ruang tertutup.

* Ichtyanophobia. Takut pada ikan.

* Felinophobia. Takut pada kucing.

* Entomophobia. Takut pada serangga.

* Electrophobia. Takut pada listrik.

* Dentophobia. Takut pergi ke dokter gigi.

* Daemonophobia. Takut pada setan atau hantu.

* Caulrophobia. Takut pada badut, orang yang sedang tertawa, dan segala sesuatu yang berbau humor.

* Coimetrophobia. Takut pada kuburan.

* Bathmophobia. Takut terhadap tangga atau bidang miring yang lainnya.

* Automysophobia. Takut menjadi kotor.

* Arachnephobia. Takut pada laba-laba.

* Acrophobia. Takut akan ketinggian.

* Acousticophobia. Takut terhadap suara yang bising.

* Agliophobia. Takut akan rasa sakit.

* Aichmophobia. Takut akan benda runcing.

* Alektrophobia. Takut dengan ayam.

* Hidronophobia. takut dengan air. air yang dimaksud bukanlah air untuk mandi atau minum, melainkan air dengan jumlah yang relatif banyak.

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyembuhkan penderita phobia, antara lain dengan melakukan terapi. Salah satu yang populer tentu saja dengan melakukan terapi hipnotis.

Full-Surprise-Life Part 16

“Serius Ndra. Gue Takut!” Butet mencengkeram lengan baju Hendra kuat kuat.

“Apalagi gue, Tet.” sahut Hendra lalu menggenggam tangan Butet.

Gadis itu menggigit bibir bawahnya.

Mereka berdua pun melangkah masuk ke sebuah rumah megah, tepatnya, rumah Hendra.

“Ayo masuk.” ajak Hendra.

Butet menggeleng. Wajahnya makin pucat saja.

“Kenapa? Takut? Enggak ada monsternya kok. Ayok ah. Buang buang waktu kalo kita cuman disini.” Hendra langsung menarik tangan Butet, dan gadis itu tak kuasa menolak.

Sampailah mereka di ruang tamu…. Disana telah duduk 2 orang. Keduanya adalah ayah dan ibu Hendra.

“Duduk.” ujar Ayah Hendra dingin. Ibu Hendra hanya memperhatikan Liliyana.

Dengan patuh, Hendra dan Liliyana duduk di sofa, berhadap-hadapan dengan kedua ortu Hendra.

“Jadi.. ini perempuan yang kamu maksud?” tanya papa Hendra lagi, penuh selidik. Hendra hanya mengangguk, sementara Butet menunduk.

“Nggak ada apa apanya jika dibandingkan dengan Sansan.”
DHEG. Satu celetukan kecil dari ibu Hendra mulai melukai hati Butet.

“Wajah biasa saja. Pekerjaan? Mama nggak yakin dia sepadan dengan kamu, Hendra.”

Ditambah satu komentar pedas ini, dan tatapan menusuk dari keduanya sekaligus, Butet tak mampu lagi membendung air matanya yang dari tadi memang ingin ia tumpahkan. Dengan cepat gadis itu meninggalkan Hendra dan kedua orangtuanya. Meninggalkan ruangan itu, mencegat taksi, dan pulang ke rumah.

Hendra yang masih bengong, tak sempat mengejarnya. Namun setelah sadar, ia malah berkata pada orangtuanya dengan suara cukup keras,
“Terserah papa dan mama mau bilang apa soal Butet. Dia tetep nomer satu buat Hendra. Hendra nggak sayang Sansan, jadi separah apapun papa sama mama paksa Hendra buat tunangan sama Sansan, maaf, Hendra nggak bakalan pernah nurutin itu.”

Hendra mulai melangkah pergi, hendak menuju ke rumah Butet, gadis malang itu. tapi tiba-tiba langkahnya terhenti,

“Oiya, 1 lagi. Kalau mama sama papa tetep nggak setuju juga Hendra tunangan sama Butet, it’s fine. Nggak papa. Kami tetep bakal tunangan, bahkan kalau bisa langsung kawin lari.” ujar cowok itu santai sambil tersenyum ke arah orangtuanya. Dan Hendra pun benar benar pergi, meninggalkan orangtuanya dengan ekspresi shocked tak terhingga.


***

“Tet, buka pintu!! Jangan gantung diri!!” teriak Hendra sambil menggeedor gedor pintu kamar Butet. Kata orangtuanya sudah sekitar 5 jam Butet ngurung diri di kamar. Bahkan untuk makan pun gadis itu enggan.

Ibu Butet sampai menangis dibuatnya. Begitu Hendra datang, beliau terus saja marah marah sambil berkata, “Kamu apain anak saya?? Kok dia jadi begitu? KAMU APAIN DIA, HENDRA?????”

Hendra yang santai jadi agak khawatir juga mendengarnya. 5 jam nggak keluar kamar, waktu makan sekalipun??

Hendra dengan sabar terus mencoba mengetuk pintu Butet. Mungkin lebih tepat menggedor. Tiba-tiba…

“Apaan sih?”

Cewek yang ditunggu tunggu akhirnya menampakkan batang hidungnya. Bertanya dengan santai, sambil menggosok gosok rambut cepaknya yang basah dengan handuk.

Hendra, serta kedua orangtua Butet hanya bisa melongo memandang Butet. Tampaknya tak ada yang salah. Ya, gadis itu baik baik saja!

“Kamu bikin aku khawatir!” kata Hendra

Butet menautkan alisnya. “Khawatir kenapa?”

“Masa’ 5 jam nggak keluar kamar?”

Gadis itu terdiam.“Cuma capek. Kalian aja yang pada lebay. Kalo aku tidur wajar kan, nggak bukain pintu.” Ia terlihat lesu, cepat cepat ingin menghentikan pertemuan sekaligus pembicaraan yang menyesakkan ini.

Butet hendak berlalu ke kamar dan menutup pintu kamarnya, namun gerakan tangan Hendra lebih cepat. Cowok chinese itu mencekal tangan Butet yang putih, “Aku perlu bicara.” ujarnya pada Butet. Butet hanya memandangnya tajam. Sedetik kemudian, Hendra melirik ke arah ayah dan ibu Butet, memberi isyarat untuk meninggalkan mereka berdua sendirian.

Setelah merek pergi, Butet dan Hendra duduk berdua di beranda samping kamar Butet. Hendra terus menatap Butet, mata gadis itu ternyata memerah, dan ada lingkaran hitam tebal di bawahnya. Barulah Hendra sadar kalau gadis itu bukannya ‘tidak-apa-apa’ tapi ia hanya berusaha menyembunyikan emosinya.

Butet mengalihkan pandangan dari tatapan tajam Hendra. Merasa jengah, akhirnya Butet menyerah, dan membuka pembicaraan.
“Ngapain liatin aku kayak gitu? Risih tau.”

“Maaf banget buat yang tadi. Kesan pertama dari ortuku nggak ngenakkin.” ujar Hendra penuh penyesalan.

Butet balik menatap Hendra, lalu mengalihkan pandangannya ke arah langit. “Udahlah lupain. Aku juga nggak papa kok.”

“Maaf banget Tet… Mereka masih marah karena aku batalin pertunanganku sama Sansan..” suara Hendra tambah memelas.

“Udahlah, nggak papa Ndra!” bentak Butet. Ia menoleh ke arah Hendra lalu menghembuskan nafas, “Aku kan memang nggak secantik Sansan! Pekerjaan, apa sih? Aku cuma pelayan, di café milikmu. apa yang menarik dari seorang Butet? Aku jelas nggak se-perfect dia, aku nggak sepadan sama kamu!”. Air mata gadis itu mulai menetes satu persatu.

“Cukup. Mungkin kita memang nggak jodoh…” Butet berkata dengan suara lirih. Wajahnya benar benar penuh air mata sekarang. Tapi ia berusaha tak terisak, tak terlihat menyedihkan di depan kekasihnya.

“Kamu beneran sayang nggak sih sama aku?” sebuah pertanyaan balasan terlontar dari bibir Hendra.

Butet berhenti menangis. Ia sangat kaget.

Belum hilang kekagetannya, Hendra bertanya lagi, “Apa kita beneran pacaran? Beneran sepasang kekasih?”

Butet tak tau harus menjawab apa. Ia masih sangat kaget.

“Jawab aku Tet, please jujur. Kamu sebenernya sayang nggak sih?”

Butet masih diam. Lalu Hendra memegang tangannya.

“Pandang aku. Kamu sayang sama aku, kan?”

Butet mengangguk kecil, bulir air matanya jatuh lagi. Ia pun memeluk Hendra dengan erat.

“Kita harus kuat Tet. Ini pasti cobaan dari Tuhan. Kalau kamu memang sayang sama aku, ayo kita berjuang bersama. Aku yakin suatu saat hati mereka akan luluh dan mereka akan merestui kita. Percaya itu. Jadi tolong, jangan nyerah ya? Terus ada di sampingku.” Hendra memeluk Butet juga, menenangkan gadis itu yang mulai terisak.

Tangis Butet bertambah deras. Ia merasa sangat malu. Padahal sejujurnya ia benar benar menyayangi Hendra. Kenapa harus ia bohongi perasaannya sendiri? Sebelumnya belum pernah seperti ini, terhadap cowok lain. Ini baru rintangan pertama dalam hubungan mereka, tapi Butet sudah ingin menyerah. Hendra, cowok itulah yang sudah membuka hatinya. Dan sekarang Butet merasa semakin yakin memilih Hendra sebagai pasangannya.
Tekad baru mulai tumbuh, harus kuat!

***

“Kemana saja kamu, jam segini baru pulang??” teriak mama dari dalam rumah. Grace bergidik ngeri, ia mengurungkan niat untuk melangkah masuk.

“Tadi habis nganter temen, ma.” jawab Vita.

“Nganter kemana, kamu ngapain jam segini baru pulang???”

“Ke tempat kerja ortunya. Mobil dia mogok…”

“Kamu mulai bohong ya, mana ada jam segini nganter nganter temen? Jawab Mama, Vita! Kamu kemana saja dan ngapain???”

Vita yang daritadi menahan amarahnya mulai kesal. “Yaudah kalo mama ga percaya! Terserah! Vita capek!”

Vita langsung mengambil kunci sedannya, lalu bergegas keluar rumah. Saat berpapasan dengan Grace di pintu teras, Vita sangat kaget.

“Lo… nguping??” desis Vita.

Grace hanya menunduk.

“Hash!” Vita pun melangkah pergi. Dan dengan kecepatan tinggi, ia memacu sedan birunya.

Grace menghela nafas. Jantungnya masih berdetak sangat cepat. Ia tak pernah melihat kakaknya yang sangat sabar itu semarah ini. Pasti masalah yang dihadapinya sangat pelik, jadi moodnya gampang hilang, batin Grace lalu melangkah masuk ke rumahnya.

***

Grace pergi kuliah dengan wajah bete. Bagaimana tidak, pagi pagi, di saat orang harusnya bersemangat menghadapi hari, segudang aktivitas yang akan dijalani, doi malah kena marah ortunya, gara gara soal sepele : remote tv. Grace lupa dimana meletakkannya. Karena semalam ia yang paling akhir mematikan TV, jelas ia yang dituduh ketika remote TV hilang. Ternyata mamanya sendiri yang menaruhnya di meja makan, saat hendak menyiapkan sarapan, setelah menonton infotainment pagi. Bikin bete berat kan? Dituduh segitunya padahal sejatinya ga salah sama sekali. Ckckck.

“Kenapa ditekuk tuh muka??” tanya Shendy sambil memperhatikan Grace.

“Biasa. Nyokap. Heboh sendiri, puas puasin tuh nyalahin gue. padahal doi sendiri yang teledor. Naro remote di meja makan.” ujar Grace sambil meletakkan tas slempangnya di bangku.

“Sabaaaaar..” kata Pia, sibuk dengan aktivitas paginya : ngemil.

Grace malah makin manyun. “Adaaa aja masalah, ya, kayaknya akhir akhir ini? Huft.”

“Udah, jalanin aja men!” seru Nitya. Yang ini juga punya aktivitas tersendiri tiap pagi : Baca Komik. Nggak pernah lupa bawa komik deh bocah satu ini. Dalam situasi kebanjiran sekalipun.

“Yaaa kalian enak bilang begitu, kaga ada masalah juga! Ohya, enaknya gue nerima kak Rian ga ya??”

Serentak Pia, Nitya, Shendy menoleh. “LO DITEMBAK KAK RIAN???”

Grace mengangguk dengan watadosnya.

“Gila lu! Kak Rian tuh kan famous ya di kampus, tapi dia pilih pilih cewek banget. Berarti tipenya yang chubby endut kayak lo gini ya??” celetuk Shendy, mengundang tawa Nitya Pia.

Grace manyun lalu menjitak kepala Shendy.

“Hehe, sorry sorry.. Trus lo trima ga cin?”

“Makanya gue tanyaaaaa, karena belum gue jawaaaab.”
“Yaaaa, udahlah terima aja. Lo juga jomblo kan?” seru Pia

Grace manggut manggut. “Tapi kan…”

Tiba-tiba….

“GRACE!!!! LO KUDU LIAT!!! KE SINI CEPETAN!!!”

Teriakan sangar ala Shendy mengagetkan Grace, memotong ucapan gadis itu.

“Apaan sih??” tanya Pia, bangkit dari kursinya, lalu menuju ke luar.

Nitya menyusul, sementara Grace masih terdiam di bangkunya, penasaran.

“GRACE!!! AAAA CEPET KE SINI!!!”

Tau tau keduanya sudah ikutan heboh seperti Shendy.

Grace jadi penasaran sekalipun masih Bete. Dengan malas, ia bangkit dari kursinnya, dan pergi keluar.

“Liat ke lapangan di bawah.” instruksi Nitya sambil senyum senyum. Ketiganya memang berada di lantai dua.

Grace pun menurut. Dan.. WHAT???

Ahsan memegang payung, tapi tubuhnya basah kuyup (saat itu memang sedang hujan deras). Cowok itu berdiri di tengah lapangan, sambil melambaikan tangan dan tersenyum pada Grace.

“Dasar bodoh!” gumam Grace, lalu Grace pun bergegas turun ke bawah melalui tangga.

***
@lapangan

Grace pun basah kuyup. Ia tak peduli lagi. Di pikirannya sekarang cuma Ahsan. Mau apa sih sebenernya cowok ini?

Ahsan masih tersenyum. Lalu ia menggandeng Grace ke bawah pohon.

“Sampe, tuan Putri.” ujarnya.

DHEG. Darah Grace berdesir cepat. De ja vu. Rasanya pernah ada orang yang mengucapkan ini sebelumnya ke dia.

Nggak hanya itu, tiba-tiba Ahsan mengeluarkan sesuatu…seperti.. plester!

“Masih inget ini?” tanya cowok itu, tersenyum misterius.

Grace terkesiap. Plester gambar dot bayi. Itu berarti.. Plester Prince…??

“Festival Olahraga SD, 15 Januari 1993. Lari estafet kelas 4 SD.”

Ucapan Ahsan ini membuat Grace benar benar mati kutu. Kaget setengah mati.

Tanpa sadar Grace bergumam.. “Plester Prince?”

“Sorry?” Ahsan terlihat heran.

“Ehm.. maksudku..Kamu.. yang ngasih plester waktu itu?.. Yang nolongin waktu aku jatuh.???”

Ahsan hanya mengangkat bahu. Tapi senyuman cowok itu sudah menjelaskan semuanya.

Grace langsung tersenyum. Dengan bahagia dipeluknya Ahsan. Ahsan pun balas memeluk Greysia. Mereka tak mempedulikan ‘penonton sekaligus supporter’ mereka, di lantai 2, yang menyaksikan langsung adegan romantis ini.

Grace terlalu bahagia, sampai meneteskan air mata. Akhirnya ia menemukan pangeran plester yang selama ini selalu dirindukannya.

“Wanna be my girlfriend?” bisik Ahsan, masih memeluk Grace.

“Sure. For everything.” jawab Grace sambil mengangguk mantap. Entah kenapa ia nggak sreg sama kak Rian, meskipun ia merasa nyaman.
mungkin karena hatinya memang masih terpaut pada sang Pangeran Plester :)

Full-Surprise-Life Part 15

“Vent aku mau ngomong..”

“Apa?”

“Eng..”

“Ah buang buang waktu aja. Aku pergi. Bye”

“Vent, kamu kok gitu sih?” Vita menyentak tangan Alvent

“Apanya?”

“Ya kamu itu!” Vita mulai kesal

“Enggak tuh, Biasa aja. Kamunya aja yang lebay.”

Vita mendelik. Sumpah, ngajak berantem banget, pengin gue timpuk pake helm ya ni cowok. Sialan!!

“Ngeselin!!” ucap Vita, lalu pergi meninggalkan Alvent setelah mendorong bahunya.

Alvent hanya mengerutkan alisnya lalu melangkah pergi juga.

Vita benar benar tak habis fikir. Alvent yang disayanginya berubah cuek dan acuh. Gadis itu berjalan pulang ke rumahnya yang hanya berjarak 3 blok dari kontrakan Alvent sambil ngedumel.

***

Sementara Vita lagi bingung dan gondok dicuekin terus sama Alvent, Grace dan Rian malah makin deket.

Bahkan Rian makin berani megang tangan Grace. Grace sendiri nggak menolak. Dia ngerasa nyaman sama Rian, nyamaaan banget. Tapi tetep aja Grace merasa ada yang kurang. Kurang rame, dan agak kaku kalo sama Rian. Nggak bisa canda candaan, ledek-ledekan, kejar kejaran dan gokil gokilan bareng. Nggak kayak waktu sama Ahsan. Grace mulai agak menyadari, mungkin kekosongan hati yang dirasakannya sedikit banyak karena cowok itu. Karena Ahsan nggak berada di sampingnya.
***

“Alamaaak!” teriak Butet yang baru pulang dari jogging. Wajahnya yang putih itu bermandikan keringat.

“Kenapa? Mau lo??” tanya Vita ketus sambil melahap rujak pedas di depannya dengan lahap.

“Udah 3 piring???” Butet balik tanya, kaget bercampur heran. Padahal biasanya sepiring aja Vita nggak abis.


“Ho-oh. glek.” sahut Vita sambil bersendawa, membuat Butet bergidik jijik.

“Stress ya lo?”

“Banget!. Sumpah, Alvent minta dimakan abis. Kayak rujak inih.”

“Sabaaaar.” Butet menepuk pundak kakaknya sambil tersenyum. (Butet sudah bisa tersenyum lagi sekarang, moodnya sudah kembali setelah ‘perisitiwa’ kemarin hahaha)

“Makasih ya Tet tapi kesabaran gue udah habis. Makan tuh cinta! Marah ga tau juntrungannya. Jelasin kek ke gue, kenapa dia marah! Kalo gini kan jadi ga jelas! Nggantung!” Vita meneruskan omelannya sambil mencomot bengkoang ke-5nya atau yang ke-6.

“Aduuh udah deh yaa, aku juga masih pusing nih. kakak jangan nambah bikin pusiiing!” Butet balas mengomel lalu berlari ke kamarnya.

“Argh Bete!”

Tiba-tiba Grace datang….

“Asiiik ada rujaak!” seru gadis berpipi gembil itu riang.

“Woooiii, jatah gue nih!”

“Alaah bagi bagi doong. Lagi stress nih!” Grace tetap meneruskan makannya.

“Wah, stress juga kamu??” Vita terlihat senang

“Ada orang stress kok malah seneng” gerutu Grace

“Soalnya aku ada temennya, hehehe”

“beuuuh”

Mereka berdua pun melahap rujak bagian masing masing.

***

@Butet’s room

Butet merebahkan badannya di kasur. Rasanya penat sekali setelah lari lari keliling taman kota dengan kecepatan tinggi.

Terlebih lagi memikirkan besok pagi. Semakin membuat kepalanya pusing. Apa aku siap?

***
Simon & Maria semakin dekat saja nih. Setelah Simon sembuh total dari cedera karena kecelakaan tempo hari, mereka makin sering menghabiskan bersama. Maria pun terlihat sudah mulai membuka hati untuk Simon, pria yang sempat berulangkali membuatnya jengkel.


Sore itu seperti biasa mereka duduk duduk berdua di taman kota.

“Hahaha nggak bisa lari dasar gendut” ledek Maria kepada Simon

“Heh liat dong, sendirinya tuh nggak kalah gendut!!”

Ganti Maria yang manyun.

lalu mereka tertawa bersama sambil memandang aurora di langit senja yang indah.


“Oiya, Mon.” kata Maria tiba-tiba

“Hem?”

Maria terdiam sejenak sebelum melanjutkan ucapannya,
“Mmm….. makasih banget kamu udah rela nolongin aku yang ngeselin ini. Sampe sampe kamu sendiri yang jadi korban. Aku bener bener ngerasa bersalah Mon. Jadi nggak bisa berenti minta maaf nih..” Maria terlihat sangat menyesal.

“Udahlah. Jangan diinget-inget yang udah lewat.” jawab Simon santai.

“Tapi,, kenapa? kenapa kamu nekat nolongin aku? padahal biarin aja aku yang mati, dan kamu ga harus jadi korban, kan?” Maria bertanya lagi. Gadis ini begitu penasaran rupanya.

Simon diam sejenak sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Maria dengan gaya santai, “Simple aja. Karena aku sayang kamu, Mar.” Senyum manis khasnya mengembang lebar.

Maria langsung membeku. Salah tingkah, ia berbalik menatap hamparan rumput hijau yang bergoyang goyang di depannya.

“Sayang sebagai apa? Temen kan?”

“Sebagai cewek, aku cowok dan kamu cewek, aku sayang kamu, lebih dari sekedar temen atau sahabat, itu aja. Singkat kan?” Simon tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.

“Hah?” Maria menggigit bibir bawahnya, masih mencoba menerka ‘maksud terang’ dari ucapan Simon.

“Hfff” Simon menghela nafas.

“Aku dulu sering banget ngerasa sebatang kara. Susah dapet kerjaan yang bener Mar jaman sekarang. Mana ortuku ga mau tau kehidupanku lagi. Soalnya mereka ga setuju aku cari kerja. padahal aku cuman mau mandiri, wajar dong, aku anak lelaki paling tua. Tau sebabnya?”

Maria menggeleng.
“Sepele. Papa pengin aku jadi penerus perusahaan. Tapi aku ga mau, terus aku diusir dari rumah. dan nggak ada yang bela aku.” Simon tertawa, pahit.

“Jadi ya karena udah setengah jalan, ya sekalian aja.” lanjut Simon lagi.

“Maksudnya??” tanya Maria

“Aku buang semua kartu kredit pemberian papa, mobil juga aku kembaliin kuncinya. aku bawa sekoper baju, dan minggat dari rumah cuma dengan persediaan uang dari tabungan pribadiku. haha” kenang Simon

“Aku luntang lantung di jalan kayak orang gila. Awalnya berat sih, kayak musafir, nomaden, apalagi uang simpananku makin tipis. Tapi akhirnya kebiasa juga. Aku sering lho makan cuma sekali sehari.”

Simon diam lagi. Agak lama, lalu menatap mata Maria dalam dalam. “Dan kamu tau, apa yang membuatku semakin semangat menjalani rutinitas sehari hari yang membosankan? Kamu, Mar. Setelah bertemu kamu aku yakin, semakin yakin kalau jalan yang aku ambil ini benar.”

“Aku merasa aku cowok paling beruntung karena bisa ketemu cewek se-amazing kamu.” senyum Simon yang super manis itu terkembang lagi di bibirnya, membuat Maria sempoyongan.

“Gombal!” Maria meninju bahu Simon keras, sampai cowok itu terjatuh.
Meski begitu, mata Maria sesungguhnya mulai berkaca-kaca. Ternyata dia udah salah menilai Simon selama ini. Upaya ‘mendorong jatuh’ Simon tadi tak lain agar cowok berambut cepak itu nggak melihat air matanya yang mulai mengalir turun.

Ketika Simon bangkit kembali ke tempat duduknya, ia melihat Maria sedang menyeka air matanya.

“Kenapa nangis?” Simon tersenyum lalu membelai poni Maria.

Maria tak menjawab. Tiba-tiba saja ia memeluk Simon dan Simon pun membalas pelukannya.

Beberapa menit kemudian Maria terlihat sudah lebih tenang.

“Kamu jahat, seperti laba-laba, menjerat aku dalam pintalan benangmu.” Maria menatap Simon sejenak. “Tapi aku nggak masalah kejiret benang milik laba-laba seinnocent kamu :)” Maria tersenyum. Manis sekali. Cowok cowok kliyengan, tak luput pula Simon.

Mereka berdua duduk berdampingan sambil menatap sunset senja yang elok dari kejauhan.

***
Hubungan keduanya setelah itu tetap seperti biasa. Mesra tapi tetep jaga jarak. Maria dan Simon emang belum mengikat hubungan secara langsung, mereka merasa lebih enjoy dengan hubungan ‘sebatas itu’ sekarang. Tapi, ingat, nggak ada yang nggak mungkin ;) Siapa tau nanti mereka berjodoh, atau malah sudah terikat benang merah sejak awal pertemuan? Only God knows :)

***

“Grace, pulang bareng yo!” teriak Rian dari kejauhan.

Grace menoleh lalu tersenyum. “Ayo ayo aja.” jawab gadis itu.

“Tapi kita main bentar ya? Gpp kan?” seru Rian lalu membuka pintu mobilnya.

“Kemana?”

“Ada deh. Tempat asik pokoknya.” Rian tersenyum nggak jelas.

“Ya udah,” Grace melirik arloji di tangannya. “Tapi jangan lama lama.”

***

“Dah sampeeeeeee” teriak Rian senang. Heboh, seperti anak kecil yang diberi permen.

“Hah?” Grace Melongo.

Cowok macho seperti Rian mengajaknya ke TAMAN BERMAIN??? Ini nggak kebalik, biasa juga cewek yang ngajak ke taman bermain.
“Mau ngapain??” tanya Grace ogah-ogahan.

“Maen dong! Ayo!”

Tanpa ba-bi-bu, Rian pun menarik tangan Grace.

***

Setelah puas mencoba permainan-permainan, mulai dari yang soft seperti komedi putar (!!!) sampai extreme game macem jet coaster, akhirnya dua bocah itu beristirahat sejenak.

“Aku tinggal dulu ya? Jangan kemana mana, tunggu disini!” ujar Rian lalu berlari pergi.

Grace hanya mengangguk lemah. Badannya benar benar penat. Ia lalu duduk di sebuah bangku sambil mengibas ngibaskan tangannya.

Ia tak menyangka, bisa melihat ‘sisi lain’ dari Rian. Yah, agak ilfeel juga sih, ternyata doi agak childish, berbeda dari bayangannya selama ini.

Nyess! Grace merasa pipinya dingin.

“Hehe, sorry, nih buat kamu.” Rian tertawa kecil lalu menyerahkan sebotol minuman dingin pada Grace.

“Thanks.” Grace tersenyum lalu menerimanya. Biarin deh childish, kalo perhatian gini.


*Malam..

2 bocah tadi rupanya belum mau pulang juga. Masih aja keluyuran. Eh akhir akhirnya Rian ngajakin naik bianglala.

“Naik bianglala yuk. Pemandangannya bagus lho dari atas.” ajak Rian.

Grace diam.

“Eh.. sorry kalo lo ga mau. Kita pulang aja?”
“Nggak kok. Gue mau. Yuk.” jawab Grace.

@bianglala (not biang keringat, okay.)

Keduanya larut dalam diam.

“Kok.. jadi diem gini sih?” tanya Grace geli, membuka pembicaraan dan mencairkan suasana.

Rian menatap Grace lekat lekat. Sementara Grace menunduk, ada sedikit perasaan malu dipandangi begitu.

“Grace..”

“Ap..apa..?” Tiba-tiba Grace menjadi gugup. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Dan ada sedikit rasa GR muncul dalam hatinya.

“Di rambut kamu ada es krim, tuh.”


BUSYET! Batin Greys. Keki, canggung, gondok. Itulah yang kini dirasakan gadis itu. Sambil merutuk perlakuan ‘super ga romantis’ Rian barusan, Grace membersihkan sisa es krim pada rambutnya dengan selembar tisu.


“Udah bersih kan?” tanya Grace jengkel. Jadi badmood, tauk, batinnya.

“Udah. hehehe”

Lalu.. suasana hening lagi.

“Grace aku mau ngomong. serius, penting.” ujar Rian memecah keheningan untuk kedua kali.

“Ya?” Grace tak terlalu antusias. takutnya dibikin keki lagi sama Rian kayak tadi.

“Aku sayang kamu. Mau nggak kamu jadi pacarku?”

Grace membeku seperti balok es dalam kulkas. Ia tak tau mesti menjawab apa. Meski sering ke-GR-an duluan, cewek berpipi gembil ini nggak nyangka bakal ditembak ‘to-the-point’ kayak gitu!

***

“Butet, kamu udah siap?” tanya Hendra

Yang ditanya diam saja. Seperti digembok mulutnya. Dari dahi gadis itu keringat mengucur deras. Wajahnya juga pucat, sangat kontras dengan kemeja hitam yang dikenakannya.


“Saya…” ucapan Butet terpotong oleh seruan Hendra yang bernada khawatir.

“Tet, kamu sakit ya?? Kalo sakit besok aja deh!! Ayo, kamu harus istirahat!”

“Aku nggak sakit..” Butet akhirnya berhasil bersuara. “cuma…. takut...” gadis itu menunduk lemas.

Lalu Hendra tersenyum, sedikit terpancar kelegaan cewek pujaannya ternyata nggak sakit.

“Nggak papa, kan ada aku.” ucap Hendra lalu merangkul Butet mesra.

“Tapi…”

“Udah deeeh, kalo kamu ga sakit ya kita cabut sekarang aja, yuk. Aku juga sama groginya sama kamu, dear.”

Hendra menggandeng Butet ke mobil dan mobil sedan hitam itu pun melesat pergi.

Full-Surprise-Life Part 14

Tak terasa 2 bulan sudah Simon dirawat di Rumah Sakit. Maria masih setia menemaninya sekaligus merawatnya.

Hari ini Simon mulai berlatih jalan untuk memulihkan kedua kakinya yang sempat cedera sehabis kecelakaan tempo hari.Seperti biasa Maria mengekor di belakangnya, mengikuti setiap proses.

“Ngapain sih ngikutin aku terus? Emang aku emakmu?” goda Simon sambil membenahi kruknya yang dipegangi Maria

“Oke, aku lepasin nih. Serius” Maria berubah jutek

“Gitu aja marah sih” Simon mencubit pipi Maria. Langsung saja pipi gadis itu memerah karena malu.

“Ehem. Maaf nih ganggu acara pacarannya.” sela seorang instruktur yang akan melatih Simon sambil tertawa kecil.

Giliran Simon yang kini dengan canggung melepaskan tangannya dari pipi Maria. Cowok itu ikutan tersipu.

“Yuk kita mulai aja sesinya sekarang. Pertama latian pake kruk dulu ya, jalan biasa dari sini sampe situ. Dipegangin, ntar lama lama dilepas.” jelas sang instruktur panjang lebar.

Simon mengangguk. Ia pun mulai berjalan, dipegangi oleh Maria. dan… berhasil.

“Lancar ya. Syukurlah. Skrg coba ga usah dipegangin mbaknya..”

Simon berjalan lagi.. Maria menunggui di dekatnya dengan cemas.. Tiba-tiba kruk Simon terlepas.. badan Simon oleng ke kiri… sepertinya akan jatuh.. tapi.. Maria berhasil menangkapnya dengan sigap.

Simon terlihat sangat shocked, ia tidak menyangka akan jatuh.

“Hm.. kita coba lagi,,” sahut Instruktur.

Simon bangkit dari rangkulan Maria. Kakinya bergetar getar tak karuan.

Ia mulai berjalan, namun… jatuh lagi.

Simon mulai berkeringat dingin. Bayangan bayangan akan kelumpuhan total atau pemakaian kruk seumur hidup mulai memenuhi benaknya. Ia terlihat sangat lemas dalam pelukan Maria.
“Jangan nyerah, Mon. Kamu bisa.” bisik gadis itu lembut di telinganya. Terdengar yakin, walaupun Maria sendiri menahan air matanya agar tidak tumpah, seandainya kemungkinan terburuk benar benar terjadi. Simon masih diam. Matanya menerawang kosong. Melihat itu, tangis Maria semakin ingin tumpah. Dan ketika air matanya mulai mengalir di kedua pipi, gadis itu cepat cepat menghapusnya. Ia tak ingin membuat Simon down, dan semakin khawatir. ‘Aku harus optimis. Percaya kalo yang di atas pasti kasih yang terbaik buat Simon!’ ujar gadis itu yakin dalam hatinya.

“Sabar ya… Memang butuh proses...” ujar Instruktur sabar.

Maria mengangkat lengan Simon perlahan. Simon menggeleng keras keras. Wajahnya menampakkan keputusasaan yang amat sangat.

“Aku udah capek. Udahlah Mar, ini nggak mungkin berhasil.”

Ucapan Simon yang ‘pasrah’ bikin Maria pengen nangis lagi nyampe banjir. Tapi dia kan udah janji, so don’t cry.. :’)

Maria memperkuat genggamannya. “Jangan cengeng, Mon. Optimis, dong!” seru gadis itu sambil tersenyum.

Simon pun mengangguk lemah, memaksakan sedikit senyuman. Ia bangkit tertatih dibantu Maria, lalu mulai berjalan lagi..

Awalnya cowok itu agak kesusahan.. Lama lama ia mulai terbiasa. Seringkali ia oleng, ingin menyerah juga, tapi ia bangun lagi melihat Maria di seberangnya yang terus menyemangati.

Akhirnya Simon berhasil menyebrang dengan sukses. Meskipun kaki kakinya lecet karena berulangkalli jatuh tapi toh akhirnya ia berhasil. Seketika itu juga ia memeluk Maria. Gadis itu menangis penuh haru.

“Apa kubilang. Simon hebat!” seru Maria di sela tangisnya.

Mereka berdua pun berpelukan cukup lama, diiringi tepukan haru bercampur keki dari sang Instruktur yang daritadi merasa ‘tidak dianggap’ dan dijadikan peran figuran dalam mellow drama ini (?????)

***

Vita merasa ada yang aneh pada Alvent akhir akhir ini. Vita merasa Alvent menjauhinya! Tiap kali mereka papasan Alvent membuang muka. Tiap kali diajak ngomong, Alvent ogah ogahan gitu. Sampe sampe tiap kali di-sms ga pernah dibales dan tiap kali telepon di-reject. Parah.

“Eh tet… alvent kok gitu ya ma gue sekarang..” tanya Vita dengan muka manyun.

“Meneketehe” sahut Butet asal tanpa ‘berpaling’ dari layar laptopnya.

“Ish Butet gitu ah.. sama aja. Gue mau ngambek aja kalo gitu!” ujar Vita kesal lalu merebahhkan kepalanya di atas meja.

“Yayayaya deh. Tapi aku serius gatau kak Vitroooong”

“Menurut kamu aja deh Tet.”

“Ehm…”

“Waduh.. jangan jangan gara gara aku ngajak dia jalan waktu itu… ya?”

“Yang mana??? Yang katanya ko Alvent sampe mau pingsan itu??”

Vita mengangguk sambil tertawa jahil.

“Yaaah habis kakak siiiih, udah tau koko tuh alergi ketinggian sama darah malah diajak naik roller coaster, ayunan gantung, sama rumah hantu sagala!”
omel Butet

“Sorry deh…” Vita masih nyengir “cuman pengen ngerjain ajaaa kok.. tp… masa’ sih dia marah segitunya cuman gara gara kencan waktu itu???”

“Ya Ampun kak Vit! Pasti ko Alvent trauma lah..”

“Alvent trauma pacaran sama aku, gitu?” tanya Vita dengan wajah polos

Butet jadi gemas sendiri. Setelah melempar bantal ke wajah kakaknya yang kadang rada telmi itu, ia melenggang keluar kamar.

“Yaaah ditinggal..” ujar Vita. Ia melirik hapenya. 15:15. Sudah 15 menit sejak ia mengirim sms ke Alvent. Tak ada satupun balasan. Huft, Vita hanya bisa menghela nafas. Hanya ada satu pertanyaan yang terus berputar di otaknya, ‘Kamu kenapa sih Vent????’

***

Sejak insiden kecil ‘nembak nggak langsung’ tempo hari, Grace sama Ahsan jadi suka canggung kalo ketemu. Pokoknya hubungan mereka berdua jadi aneh deh.

Sore itu… @kampus

Grace papasan sama Ahsan. ‘sial banget gue’, .Seperti biasa, Grace menundukkan kepala, dan Ahsan memalingkan wajah tak acuh.

Grace menghela nafas panjang.”Lagi, lagi”, batinnya sedih. Grace menerawang memperhatikan sosok Ahsan yang makin menjauh. ‘Aku nggak mau kita kayak gini terus, San..’

Begitu terus berulang-ulang. Antara Greysia & Ahsan. Sementara di sela sela pikiran Greysia tentang Ahsan yang menjauhinya,,, di samping Grace selalu ada Rian. Cowok itu terus-terusan mendampinginya. Pulang sekolah dianterin, makan siang ditemenin, tiap satnite diajak jalan.. Mereka berdua bahkan sering disangka pacaran. Keduanya juga sepertinya nggak sungkan ngaku, Rian kalo ditanya paling ketawa ketiwi ga jelas, sementara Grace cuma diam tapi wajahnya memerah. Walaupun begitu, Grace nggak sepenuhnya bahagia. Masih ada ‘persoalan’ dalam hatinya yang mengganjal. Tapi apa? Grace sendiri juga tak yakin.

***



Butet terbangun dengan kantong mata tebal di wajahnya. Setelah yakin matanya beneran melek, cewek berambut cepak ini beranjak ke depan cermin besar di pojok kamarnya.

Kalo cewek cewek biasanya kaget setengah mati, bahkan sampe nangis nangis waktu tau ada ‘lingkaran hitam’ menodai wajah mereka, nah cewek yang satu ini beda lagi. Doi malah ketawa ngakak kenceng banget liat wajahnya sendiri, sampe guling guling di kasur. Yah, walopun abis itu Butet nangis lagi. Air matanya jatuh sendiri, sih, waktu aku tanyain. Hmmm…Pasti deh, inget Pak Hendra, lagi!

***

“Ish, Butet!!!! Wajahmu, nduk!!!” teriak Maria kaget melihat kantong mata tebal made in Butet’s eyes.

“Hehe” Butet nyengir maksa abis.

Wajah kaget Maria berubah datar. Ia menghampiri Butet lalu menepuk pundaknya.

Butet menoleh ke arah Maria.

“Lagi ada masalah, ya? Cerita dong..” Maria tersenyum.

“Enggak kok.” balas Butet sambil tersenyum.

“Bohong. Ntar pak Hendra nggak naksir lagi lhoh.”

Niatnya Maria sih mau bercanda.. tapi karena timingnya nggak tepat, and… he’s the main trouble, Butet malah nangis sejadi-jadinya. Air mata membanjiri kedua pipinya yang putih.

“Yaaaa, eh, eh, kok malah nangis, duh, aku salah ngomong ya?? Maaf tet!!!!” ujar Maria gelagapan. ia terlihat salting.

“Ngg..nggak papa kok,Mar..”

Maria menghela nafas. Ia akhirnya tau, MASALAH UTAMANYA adalah Hendra.
“Kamu.. mau cerita?” tanya Maria ragu ragu sambil merangkul sahabatnya.

“Nanti ya…. aku butuh nangis dulu sekarang. Kalo aku udah siap aku pasti cerita kok….Hikss…” Butet menutupi wajahnya yang penuh tangis dengan kedua tangannya.

Maria cuma bisa mengelus elus pundak Butet sambil menenangkan gadis yang sedang patah hati itu.

***

“Bapak ada hubungan apa sih sama Butet?” tanya Maria kepada Hendra, mungkin lebih tepat disebut ‘interogasi’

“Hah? Kamu ki ngomong opo toh, Mar??” sahut Hendra, kaget disodori pertanyaan pribadi oleh pegawainya sendiri.

Maria menghela nafas lagi. Panjaaaang. Seharian ini dia harus dibikin pusing oleh masalah masalah sepasang sejoli.

“Halah, udah ngaku aja tho pak. Bapak itu ada hubungan apa sama Butet? Terus bapak apain dia, ha??!” suara Maria yang lembut berubah kasar,

“Aduh, Mariaaa, kamu itu bicara apa? Saya nggak ngerti!” Pak Hendra menghentikan pekerjaannya.

“Jangan pura-pura nggak tau! Liat Butet, dia nangis nangis waktu saya bilang nama bapak. SEKARANG JANGAN NGEHINDAR LAGI, PAK. BAPAK NGAPAIN BUTET???”

Mendengar itu Hendra tertawa keras keras. “Saya tu nggak ngapa-ngapain sama Butet, kita nggak ada hubungan apa-apa. Cuma relasi kerja, sudah.”

tapi tiba-tiba wajah Hendra menegang, cemas. “Tadi kamu bilang Butet nangis?”

“Iya, tuh, di pojokan, sampe sekarang belum berenti!”

Pak Hendra melirik Butet. Ia terlihat masih sesenggukan, dengan kedua tangan menutup wajahnya.
“Cuma teman??? lalu kok Butet sampe nangis gitu gimana tuh pak? Ini semua pasti ada hubungannya sama bapak! Pasti!” ujar Maria penuh keyakinan. Udah kayak hakim di pengadilan ajah, atau Sherlock Holmes/Conan (????????)

Pak Hendra terdiam. sepertinya berusaha memutar kembali memori dalam otaknya.

“Mikir atuh, pak.. Coba terakhir bapak ketemu Butet aja deh.”

Pak Hendra masih diam.
‘Pagi aku kerja biasa, dia juga, sorenya aku ke café, ketemu Butet, disuruh ganti soalnya aku basah kuyup. Terus hapeku bunyi, aku terima telfon. Pas udah selesai telfon Butet dah di depan pintu.. Butet emang kayak nangis sih waktu itu. Tapi kenapa??? Aku salah apa???

“Udah inget pak?” tanya Maria, sudah berubah kalem lagi.

Hendra hanya mengangguk.

“Kalo gitu ceritain.”

Dengan patuh Hendra pun menceritakan semuanya.

“Hm.. apa yang bapak omongin di telfon?”

Wajah Hendra memerah. Habis yang diomongin di telfon kan, pertunangannya. Hah, ya!!! Pertunangan!!! Tapi.. masa’ Butet Marah gara-gara itu????? Emang apa hubungannya sama Butet???

Pak Hendra tersenyum sendiri. Sepertinya ia sudah tau titik terang masalah Butet. Ia langsung meninggalkan Maria, lari menuju Butet. Maria terbengong bengong memperhatikan dua sejoli itu.

“Tet..” Hendra berjongkok di depan Butet.

Seperti mengenali suara itu, Butet enggan membuka kedua tangan yang menutupi wajahnya.


Mereka diem dieman cukup lama. Pak Hendra dengan sabar terus membujuk Butet untuk bicara. Akhirnya Butet luluh juga.

“Apa?” tanya gadis itu sangat singkat. Dan ternyata ia hanya membuka tangannya sebatas mata.. Hidung ke bawah masih ditutupi juga.

“Kamu kok nangis, kenapa? Kata Maria gara-gara saya, ya?” tanya Pak Hendra dengan wajah yang benar benar polos.

Butet ingin sekali berteriak ‘Iya gara gara kamu, jelas banget INI SEMUA GARA GARA KAMU. gara gara kamu… kayaknya gara gara kamu tunangan. aku sendiri nggak tau kenapa, Ndra! tapi yang jelas gara gara kamu aku nangis semalem suntuk, bantalku semua basah kena air mata, dan lingkaran mata ini, semuanya gara gara kamu Ndra! gara gara kamu!’

tapi niatnya diurungkan. Gengsi + tengsin dong. Apa apaan lah aku, kok malah jadi curcol sama dia. Jadi Butet diam saja.

“Tet,?”

“Udahlah. Lupakan.” Butet bangkit, setengah berlari keluar kafe.

Pak Hendra mengejarnya, lalu mencekal tangannya.

“Tet, kamu kenapa? Marah sama saya?? Kalo iya marah kenapa? jelasin dong Tet… jangan bikin saya ngerasa bersalah!”

“Nggak. Bapak nggak salah apa-apa. Ini semua salah saya kok. Lagian udah saya bilang lupain ya lupain!”

Butet berontak tapi tangan Hendra kelewat kuat.

“Kamu.. cemburu, saya tunangan..?” tanya Hendra ragu-ragu

“Nggak lah!” elak Butet, tapi kontan saja wajahnya memerah.

“Liat aku, Liliyana. Liat aku.” seru Hendra, tangan kirinya memalingkan wajah Butet agar menghadap ke arahnya.

Wajah Butet masih merah, dan ia masih berusaha berontak.
“Kamu cemburu kan?”

“Nggak!!”

“Bohong. Kamu bohong.”

Butet mulai jengkel. “Iya, emang, saya cemburu, dan saya nggak tau sejak kapan saya naksir bapak!!” teriak Butet, “Tapi toh percuma aja, bapak udah tunangan. Dan saya harus lupain bapak, gitu kan??” suaranya meninggi, air mata menggenangi pelupuk matanya. Butet bisa sedikit terlepas dari tangan Hendra.

Saat Butet hendak lari.. Hendra lagi lagi mencekal tangannya, membalikkan wajahnya ke arah cowok itu. Daaan, Hendra mencium Butet! Tepat di bibir cewek putih itu. Ciuman yang manis dan lembut. Membuat Butet melayang layang.

“Aku emang udah ditunangin. Tapi aku cuman sayang sama kamu Tet. Cuma cinta sama kamu. Sejak pertama, aku udah suka. Dan rasa suka itu berlanjut hingga detik ini, aku harap seterusnya. Aku bener bener sayang sama kamu dan aku cuma mau kamu.”

Full-Surprise-Life Part 13

“Nanti malem kamu ga ada acara kan tet??” tanya Pak Hendra sambil mengoles mayonaise pada rotinya.

“Nggak sih. Kenapa emangnya? Kok tau tau tanya gitu..” tanya Butet balik, agak sedikit heran (plus GR, takutnya diajak ngedate XP)

Hendra pun menggaruk garuk kepalanya sambil sedikit nyengir ke arah Butet. “Yaaa.. rencananya aku mau ngajak kamu dinner. Tapi nanya dulu.. takutnya kamu ga free malem ini. soalnya kan malem minggu.. hehe”

Butet menoleh. “Emang malem minggu kenapa?”

“Siapa tau kamu diajak jalan ma gebetanmuuuu” goda Hendra, lalu nyengir lagi.

Butet tertawa geli. “Aku mah free terus. tiap hari ga ada beda. nothing special, habisnya jomblo sih.”

Tiba-tiba mereka larut dalam keheningan.. yang.. aneh..
Tiba-tiba.. Hendra menoleh ke arah Liliyana.. “Boleh aku mencalonkan diri?”. Sebuah pertanyaan singkat yang sukses membuat Liliyana membeku.

***

“Kamu.. cemburu?” Grace membelalakkan matanya, kaget, sangat kaget.

Wajah Ahsan yang tegang berubah datar. Cowok itu melepaskan pegangan tangannya. “Sorry. Tadi cuman emosi aja kok. cuma bercanda. Jangan dianggep ya.” Kemudian Ahsan berlari meninggalkan Greysia.

Tapi tiba-tiba Ahsan berbalik lagi menuju Grace. “Oiya, semoga hubungan kamu sama Rian langgeng.” ujarnya sambil tersenyum, sebelum benar benar melangkah pergi.

Grace hanya terdiam di tempatnya. Entah kenapa ada perasaan kecewa saat tau Ahsan hanya bercanda.. Mungkinkah Grace mengharapkan sesuatu dari Ahsan? Sesuatu yang nyata.

***

“Yeaaaay akhirnya beres juga!” seru Vita senang sambil menyeka bulir bulir keringat yang mengalir deras di pipinya.

“Makasih yaaaa bantuannyaaaa…” Alvent merangkul Vita dari belakang.

Vita melepas rangkulan Alvent. “Weitzzz ini semua ga gratis mameeeen.”

“Hah?”

“Bayar dooong.”

“Jiah elaaaah, segitu doang Vit. Ntar kalo jadi istri aku kan tiap hari juga begini.” ujar Alvent lagi, tersenyum menggoda Vita, lalu merangkul gadis berambut cepak itu lagi.

Wajah Vita langsung bersemu merah. Namun ia cepat cepat mengalihkan perhatian. “Yeee. Jaman sekarang mana ada yang gratisss mas. Semua pake duit. Pipis aja bayar.” omel Vita.

“Hush!” Alvent membekap mulut Vita. “Iya deeeh. tapi jangan pake duit. ga ada nih, lagi bokek. yang lain aja gimana?”

“Oke, tapi janji nurut sama aku ya, sehari ini aja. Full.”
“Siaaaap neng!”

***

“Butet, sabun cucinya habis ntar! Kamu mau nyuci sampe sekinclong apa???” tegur Maria, mengagetkan Butet, sekaligus membuyarkan seluruh lamunan gadis itu.

“Hehehehe” yang ditegur cuman nyengir kuda.

“Cerita deh. ada something yaaaaa???” goda Maria lalu menyenggol lengan Butet berkali kali.

“Nothing laa” jawab Butet sekenanya, sambil cekikikan nggak jelas.

“Hayoooo”

“Ih apadeeeeh”

“Ada apa sih?”

“Nggak ada apa apa sih..”

“Aku serius Tet..”

“Aku 2 rius Mar..”

“Ish, udahlah!” gerutu Maria lalu meninggalkan Butet yang masih cekikikan sendirian.

***

“Aku pulang duluan Tet..” seru Maria lalu mencangklong tasnya.

“Yoyoy. Ke RS lagi?” tanya Butet.

“Biasa..”

“Cieee ngurus suami”

Maria melotot, pura-pura melepas higheelsnya dan hendak melemparkannya ke Butet.

“Yuk ah udahan berantemnya besok lagi.” Maria tertawa geli. “Babaiiii Tet. Ati ati pulangnya jangan malem malem, banyak hantu! hiiiy!”

Butet hanya mengangkat bahu mendengar candaan Maria. Walopun agak merinding juga sih.

Butet cepat-cepat mengambil tasnya. Gadis itu bergidik sendiri membayangkan yang ngeri-ngeri. ‘Ah dasar Maria, bikin bikin nih!’ omelnya dalam hati.

Tiba-tiba…
“Bu..te..t..” seseorang menepuk pundaknya. Tangan yang dingin.. Butet menoleh.. Ternyata…. Pak Hendra.

“Duh, ngagetin aja sih. Ta’ kirain siapa.” Butet mendesah lega. Jantungnya masih dheg dheg ser gara gara kejadian barusan. Soalnya keingetan kata kata Maria terus sih.

“Maap deh.. hehehe..”

Butet memperhatikan penampilan Hendra. Waw, rapi. Tuxedo-nya pasti mahal. Aduuuuh bukan itu! Baju Hendra basah semua! Habis kehujanan sepertinya.

“Kok basah semua???” tanya Butet kaget.
“Iya nih. tadi lari lari akunya. Nah, pas itu gerimis. aku nekat. ternyata deres hehe.”

“Eh, cepetan ganti! Ntar masuk angin!” saran Butet, lalu menggandeng Pak Hendra dengan santainya ke arah loker.

“Ini ada anduk. keringin badan aja dulu. saya keluar, ya.” ujar Butet.

*Beberapa menit kemudian Pak Hendra keluar..

“Thanks banget ya Tet.. hehe..”

“Samasama.” Butet tersenyum.

You Raise Me Up.. so i can stand on mountain.. Hape Hendra berbunyi rupanya. “Tet, aku tinggal dulu ya, telepon nih.” pamit Hendra.

Butet hanya mengangguk.

***

10, 15, 20, 30 menit kemudian Hendra belum muncul batang hidungnya juga. Butet yang penasaran pun mengintip keluar..

Daaaan…tampaklah Hendra seperti sedang bertengkar via telepon dengan seseorang.

“Hah? Hari Minggu? Berarti Minggu depan?!”

Butet pun mencuri dengar lebih dekat…

“Iya aku tau, tapi apa nggak bisa ditunda dulu?”

Kemudian Hendra berteriak lagi..

“Lagian aku nggak suka Sansan, dan aku nggak mau ditunangin sama dia! Titik! Sekarang udah nggak jamannnya lagi pake jodoh-jodohan! Ash terserah lah!” teriak Hendra, kesal.

Butet ternganga. Ia bagaikan tersambar petir di siang bolong. Hendra… tunangan?

Setelah puas marah marah, Hendra menghela nafas. Tapi detik itu juga ia berhenti, karena melihat Butet berdiri di ujung pintu dengan mata sembap.

“Eh.. sorry Tet.. kamu pasti denger.. yang barusan ya?” tanya Pak Hendra ragu ragu, merasa nggak enak.

Butet tersenyum, tapi keliatan banget kalo senyumnya itu mekso. Nggak tulus. “Nggak papa kok pak. Saya pulang dulu aja ya, tiba-tiba nggak enak badan. Makasih buat ajakan dinnernya. Mungkin nggak malem ini..”

Setelah berkata begitu, Butet langsung ngacirr nggak tau juntrungannya. meninggalkan Hendra yang dilaanda kebingungan akut.

“Butet kenapa sih?? Ada yang salah??” gumam Hendra kecil. Namun cowok itu memutuskan nggak mengejar Butet. Pikirnya Butet itu nggak enak badan beneran.

Sementara di tempat lain (yang jaraknya kira kira hanya 500 m dari TKP (???????))………

Butet berjalan terseok seok. Kadang ia mendendang kerikil kecil yang ada di depannya jauh-jauh.

‘Ah.. Butet nggak lemah. Nggak boleh nangis. Pokoknya aku harus kuat. Lagian aku kenapa sih, emangnya kenapa kalo Pak Hendra tunangan? Itu hak dia, kan? Kok jadi aku yang sensi, marah marah ga jelas gini.. Ya Ampun.. Tapi… aku nggak bisa bo’ong kalo hatiku remuk banget pas denger kabar tadi.. kayak dipukul palu godam.. Kenapa ya? Ah udahlah, pokoknya malem ini aku mau jadi soulmatenya bantal! Dia selalu setia nemenin aku.. Nangis semalem suntuk ah. Besok besok janji deh nggak akan lagi.. besok pesta es krim malah mungkin. Yang jelas malem ini aku butuh banget buat numpahin semua air mata ini…’

Gadis itu pun berlari kencang menuju rumahnya yang tak jauh dari situ.

***

Vita bersorak kesenangan sehabis turun dari Jet Coaster. Sementara di sampingnya.. Alvent sukses terbaring lemas tak berdaya. Bagaimana tidak, seharian ini cowok yang lumayan phobia ketinggian dan darah ini malah diajak—ralat DIPAKSA— naik halilintar, jet coaster, ayunan gantung setinggi 16 meter, dan masuk ke rumah hantu sama pacarnya sendiri! Duh, nggak kebayang.
‘Ternyata ini nih yang dimaksud Vita HARUS NURUT SEHARIAN. FULL. Tau gitu gue pura-pura sakit aja. Nih bocah udah tau sama aja nyiksa gue malah cecengiran mulu!’ curhat Alvent ke author sambil melirik Vita yang nyengir ke arahnya.

Kira kira gini nih kalo dijadiin buku comment

1. JET COASTER

Vita : “Asiiik!”
Alvent : “Aku akan menutup mata sehingga tidak melihat ke bawah”

2. HALILINTAR

Vita : “Wanna Try it again! Yippieee!”
Alvent : “Muntah. Hoeeeek. Mana kantongnya??”

3. AYUNAN GANTUNG

Vita : “Lain kali aku nyoba ga pake sabuk pengaman ah! Pasti kayak gelantungan di pohon. Seruuuu!”

Alvent : “Enak apanya? Yang ada bikin aku ngompol di celana.”


4. RUMAH HANTU

Vita : “Vent, kira kira kalo aku nglamar jadi kuntilanak disini ketrima ga ya? Vent, Vent!!”

Alvent : (pingsan dengan suksesnya)

Setelah pingsan :

Alvent : “Rasanya tadi mau mati.”


~~~~~~The End~~~~~~
lalalaaaaaa

ckckckc

***

Sunday, November 21, 2010

Semalam SatNite yang indah buatku (y)

Senang sekali rasanya Indonesia dapat menambah emas ke-4nya. Apalagi dari cabor yang paliiiiing saya sukai, BADMINTON :D

Emas ke-4 dipersembahkan oleh ganda putra kita, Markis Kido, dan Hendra Setiawan, yang menang melawan Koo Kien Kiat/Tan Boen Hoeng

Awalnya pasangan kita kalah 16-21. Tapi akhirnya dapat menyempurnakan set kedua 26-24. Dan set terakhir pun ditutup pula dengan kemenangan, 21-19.

Skornya sangat ketat, beberapa kali terjadi deuce. Tapi berkat perjuangan Markis Kido dan Hendra, dukungan dari seluruh masyarakat Indonesia, serta at least but not least restu dari Tuhan YME, akhirnya kemenangan diraih dan medali disabet pasangan ini.

Detik detik menegangkan saat Hendra dan Kido menang, aku cuma terpaku di depan TV. Speechless,merinding, dan ada rasa yang aneh di hati. Bangga.. lebih.. Seneng.. pokoknya campur aduk lah. Yang jelas, rasa nasionalisku yang makin terkikis kembali lagi, semuanya berkat BULUTANGKIS :)
Apalagi saat bendera Indonesia dikibarkan di tiang paling tinggi, dan saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan..

Baru kali ini juga merasa sangat beruntung menjadi anak Indonesia yang mencintai kekayaan negerinya sendiri, termasuk olahraga, dan atlet atletnya :')

Saturday, November 6, 2010

Apa nih gatau, perasaanku kali ya? :??

Haloo bloggerr lama tidak me-ngepost, halah. Aku lagi takut banget, dilema, capek sedih, campur campur deh pokoke.

Nih ya aku mau curcol (?)

1. SEDIH

masa berkabung.. eyang putri meninggal dunia :((( kadang tuh masih suka keinget. bahkan di kamarnya tuh baunya masih 'eyang banget'. nggak ada lagi yang nyuapin kalo aku sakit (buka aib ckckc, gapapa deh), nggak ada yang sering ngajak aku jalan bareng. kalo pada pergi sekarang aku di rumah sendiri. DAN YANG KERASA BANGET pas malem, biasanya eyang tuh suka nonton sinetron, kalo udah gitu suka heboh sendiri, tapi justru hebohnya itu yang ngangenin. :')

2. Capek

capek gatau kenapa, padahal banyak libur :(

3. dilema
gatau kenapa. mau nulis cerpen cerbung kadang suka ga mood :(

4. TAKUT

MERAPI, KEMATIAN. That's it :( Beroda semoga nda ada apa apa. Amin ammin ya rabbal alamiiiin :')))

nah yang terakhir, makasih udah mampir di blogku.. follow ya kalau berkenan :))))
see you again :)

Full-Surprise-Life Part 12

Simon membuka matanya. “Sakit..” ujarnya sambil memegangi kepalanya yang dibalut perban.

Tiba-tiba Maria menjerit histeris dan memeluknya.

“Huaaa maafin aku yaaa Simoooooonnnnnn” ucap Maria di sela-sela isak tangisnya.

Simon hanya bisa melongo, namun sejenak kemudian ia balas memeluk Maria.

“Emangnya kenapa? Aku nggak marah sama kamu kok!” sahut Simon polos.

Maria melepas pelukannya sambil menyeka air matanya. “Kamu pura-pura bego atau emang bego beneran sih?! Kamu tu hampir mati cuma gara-gara aku! Gara gara mau nyelametin aku!” seru Maria kesal, nggak habis pikir kenapa cowok di depannya bisa begitu santai, setelah ‘berkutat’ sangat dekat dengan ajalnya.

Simon cuma nyengir mendengar ucapan Maria.

“Yeee malah nyengir, sebagai permintaan maafku, aku mau ngerawat kamu selama kamu disini ya, Mon.” ujar Maria sambil tersenyum.

Simon melongo lagi. Kali ini lebih lebar dari sebelumnya. “Tap..tapi Mar”

“Nggak pake tapi-tapian. Emangnya kamu mau aku terus-terusan ngerasa bersalah? Biarin aku balas budi, Mon! Ya, ya? Jangan nolak, okey?” seru Maria sambil mengupas apel merah yang baru dibelinya, untuk Simon, tentunya.

Simon tak berkutik. Ia hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. Perasaan cowok itu campur aduk..
Heran, Maria mau maunya nginep di RS cuma buat ngurusin dia, dalam jangka waktu lama, pula.
Kaget, baru kali ini dia dibentak Maria, habis biasanya paling puol diusir doang sih. Tapiiiiii sejujurnyaaa yang paling banyak dirasain Simon adalah perasaan seneng dan berbunga-bunga bisa bareng bareng sama Maria, dan diperlakukan istimewa sama cewek cantik ini—meskipun dalam rangka BALAS BUDI aja, hiks— Tapi Simon bener bener rela deh, habis kayaknya doi serius kesengsem ama Maria ^^
***

“Kak Vitrooooooong udah dicariin tuh! Buruan turuuuun, cem ceman lu berisik banget!” gerutu Butet di depan laptop, masih asik bermain games.

“Iyaaaaa lagi sisiran nih Tet. Gue turun yaaa, babaiiii” seru Vita sambil cengengesan. Gadis itu lalu menuruni tangga dengan cepat.

Butet hanya menoleh sebentar, tersenyum, lalu kembali asyik dengan pekerjaannya.

***

“Ciiieee wangi bangeeet” goda Alvent

Vita tersipu. “Yaudah besok besok aku ga mandi seminggu deh”

“Weits jangan doooong. Haha, udah ah, yuk masuk..” ujar Alvent tersenyum lalu membukakan pintu jazz silvernya.

“Thanks.” ucap Vita sebelum masuk ke mobil, lalu mobil itu pun melaju kencang.

***

“Sekaraaang, kita mau mulai darimana?” tanya Alvent cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sementara Vita sibuk geleng geleng kepala.

“Mulai dari kamar ini, dong! Sekarang!” geram Vita. Gadis itu menyingsingkan lengan kemejanya dan mulai membereskan kamar Alvent yang berantakan naujubile.

“Astaga Vent.!! Mbok baju baju kamu itu digantung to! Nggak tau yang namanya hanger apa? Disini ada hanger kan? Trus ini lagi, kulit jeruk di laci, topi malah dibuang di tempat sampah! Yaoloh!” omel Vita panjang lebar. Alvent cuma meringis di sampingnya.

“Bantuin aku, angkat lemari Vent!”

“Nih, rak bukunya dipindahin aja ke depan!”

“Jangan lupa berkas berkas kantor kamu! Jangan ada yang ditinggal disini lho, jangan kelupaan!”

Seruan-seruan semacam itu terus saja terdengar dari dalam rumah kontrakan Alvent. Olalaaaa ternyata hari ini Alvent mau pindah rumah ke daerah sekitar rumahnya Butet Grace Vita bersaudara to.. Biar deket ama Vita nih ceritanya? Ceileh bang Alvent romantis amet.. Selain itu biar gampang buat ngapelin kali ya? wkwkw

***







“Butet, ini buat kamu,” kata Hendra ragu-ragu sambil menyodorkan sebuah CD

Butet menerimanya dengan kaget ‘Darimana Pak Hendra tau aku suka Ne-Yo?’ batinnya. Namun Butet berusaha menutupi kekegetannya dengan tersenyum. “Makasih ya, aku suka banget sama Ne-Yo..”

Hendra tersenyum lega. “Untung kamu suka, jadi ngga sia sia aku mbeliin kamu.”

Lagi lagi batin Butet bertanya-tanya, darimana Pak Hendra tau musik favoritnya. Setaunya ia tak pernah memberitau. Jangan jangan dia nyelidikin.. Bela-belain buat aku..? Ah dasar GR tingkat tinggi, nih! batin Butet sambil tersipu.

***



“Haiiii Grace!” sapa kak Rian dari depan pintu.

“Heeeem heeeem” goda Shendy dan Nitya sambil menyenggol nyenggol lengan Grace. Yang disikut cuman cengar cengir.

“Halo, kak.. Ada apa ya? Kok tumben mampir ke kelasku?” tanya Grace gugup. Entah kenapa dia suka deg-degan akhir akhir ini kalau deketan ama kak Rian. Cieeee.

“Entar malem ada acara kah?”

“Ehm.. Enggak sih kayaknya.” sahut Grace “Kenapa gitu kak?”

“Bagus lah. Kamu mau nggak aku ajak jalan?”

“Ha???” Grace melongo di depan pintu, membuat Rian tertawa terpingkal-pingkla seperti dulu.

“Iya. Aku ajak kamu jalan kalo kamu ga ada acara.”

“Ah ya mau banget kak!!!!” Grace mengangguk mantap, menghentak-hentakkan kakinya.

“Hahahaha” Rian tertawa lagi. “Ya tapi nggak usah segitunya juga deh. Sip. Jam 8 aku jemput kamu, ok? Bye.”

Grace rasanya bakaal meleleh. Atau, yang lebih parah, teriak kenceeeeng banget untuk meluapkan kegembiraannya, kalau nggak inget lagi di kampus. Ckckckc.

Shendy melirik Grace yang sedang berjalan ke bangkunya.

“Kenapa?” Grace balas melirik Shendy dengan tatapan aneh.

“Nggak. Ketauan banget aja naksirnya.” ucapan Shendy mengundang tawa Pia dan Nitya, sementara Grace hanya tersipu sipu di kursinya.

***


“Yaoloh mau ngapain sih kammu deeee?? Mau kamu obrak abrik itu 1 lemari juga ga bakal ada apa apanya….. Isinya baju cowok semua. Kaga ada yang namanya gauuun!” omel Vita lalu memandang Greysia.

“Yah habis Grace juga ga ada gaun kak.. Kak Butet punya nggak ya?? Aduh!” Grace mulai menggigiti kukunya, kalut.

Vita tersenyum lalu melirik penuh arti ke arah Grace. “Idiiih centil banget sih adekku yang mau nge-date!”

Wajah Grace bersemu merah bak tomat.

“Eleh eleh… udah gede ya kamu sekarang? ya udah pilih aja yang pantes. Ga harus gaun kan? Yang penting enjoy di badan kalo kakak mah..”

Grace tercenung. Lalu ia menjentikkan jarinya dan dengan cepat berlari ke kamar. Vita memandangi adeknya itu dengan heran.

“Kakak kan ada blazer warna putih.. Nih, Grace ternyata masih ada gaun terusan warna item. Trus rambutnya dibando aja deh!” seru Grace senang. Menemukan ide cemerlang solusi masalahnya. Vita hanya geleng geleng kepala.

***

“Cantik.” komentar pertama yang amat sangat singkat dari Rian, ternyata masih sanggup membuat wajah Grace merona merah bak kepiting rebus.

“Makasih.”

“Yuk kita berangkat.” Rian dengan santainya menggandeng tangan Grace menuju mobil.

‘Semoga jantungku nggak meloncat keluar,’ doa Grace yang daritadi hanya memandangi Rian menyetir mobil.

Selain penampilan Rian yang super cool malem ini, ada lagi yang bikin Grace tambah kelepek kelepek, yaitu Rian yang memperlakukannya bagai seorang Princess. O-M-G siapa yang nggak melting? Pokoknya malam ini istimewa banget buat Grace!
***
“Ng.. nggak usah disuapin Mar.. aku bisa.. aku bisa sendiri kok..” tolak Simon halus ketika Maria hendak menyuapinya.

“Jangan ngeyel deh. Mau sembuh apa enggak?”

“Ya Mau lah!”

“Kalo gitu nurut aja!”sahut Maria, lalu kembali menyuapi Simon

Simon dengan patuh membuka mulut. Lalu mengunyah dengan cemberut. Maria tertawa dibuatnya

“Baru kali ini ada yang ngambek gara gara disuapin. Kan malah enak tuh harusnya kalo disuapin, tinggal buka mulut aja aaaam. Nggak repot. Eh, kamu kok malah nesu ya.”

Simon tersipu. “Ya aku kan malu Mar sama kamu.

“Halah, nggak usah malu-malu, yang penting sembuh dulu!” ujar Maria, lalu keduanya tertawa bersama.

Paginyaaaa.... @kampus

“Grace.. tunggu aku! Aku mau ngomong!” seru Ahsan sambil melepas topinya.

“Yaudah ngomong aja, repot banget.” seru Grace terkesan agak jutek.

“Kamu kenapa sih akhir-akhir ini sering bareng sama Rian. Dia itu bre***** tau!” ujar Ahsan, terengah engah mengejar Grace
Grace langsung berhenti mendengar ucapan Ahsan

“Heh, apaan tuh maksud kamu ngomong gitu??? Mau manas-manasin? Kurang kerjaan banget sih!” Grace hampir saja menampar Ahsan

“Kenapa? Tampar aja! Ayo, yang keras! Nggak papa, aku nggak marah! Karena aku cuman ngomong kenyataan!” tantang Ahsan
Grace menurunkan tangannya, sementara berusaha menahan amarah, gadis itu berujar,

“Sebenernya mau kamu apa sih, kenapa ngomong gitu? Kalo cuma mau nyari masalah, percuma aku ladenin kamu!” Grace beranjak pergi tapi Ahsan menahan tangannya

“Kenapa sih San? Lepas! Atau jangan jangan.. kamu cemburu ya?” ujar Grace, setengah menggoda setengah kesal

“Iya aku cemburu, kalo aku cemburu kamu mau apa?”

Full-Surprise-Life Part 11

@Korean Festival

Grace memasuki pelataran Sachara University dengan ragu-ragu. Ia celingukan ke kanan dan ke kiri, mencari Yong Dae yang belum tampak batang hidungnya.

Tiba-tiba ada yang menyentuh pundaknya. Reflek, Grace menoleh. Seorang laki-laki tinggi berwajah oriental telah berdiri di depannya.

“Grace?” tanya pemuda itu ragu. Alisnya bertaut.

“Ah ya. Aku Grace.. Kamu…” Grace ikut-ikutan menautkan alisnya, lalu ia tersadar dan berteriak “Yongdae!!” seru Grace senang, kemudian memeluk cowok oriental yang dipanggil Yongdae tadi.

“Haha iya aku Yong Dae.. Jadi kamu memang benar Greysia.” Yongdae balas memeluk Grace.

“Ngomong-ngomong kau tau darimana aku disini?” tanya Yongdae setelah Grace melepaskan pelukannya.

“Aku tau.. dari seniorku di kampus.. Namanya Kak Rian.”

“Rian? Darimana dia tau aku?”

“Aduh, ya mana kutau Yong Dae.. dia hanya bilang kau buka sebuah stand di sini.. makanya aku ke sini.. Dasar! Padahal aku mau tanya padamu soal ini, ternyata kau juga sama sama tak tau!” cerocos Grace panjang lebar, agak sedikit mengomel.

“Ckckckc ya sudah deh.. Tapi kayaknya ia temen kita pas SD deh.. Iya atau bukan menurutmu?” tanya Yong Dae lalu menatap Grace

“Mungkin.. Habis aku sudah lupa.. SD itu kan sudah bertahun tahun yang lalu. Mana aku ingat.” sahut Grace balas menatap Yong Dae

Yong Dae terkikik sebentar. “Nah, daripada kita mikirin soal Rian ayo kita liat liat stand stand di sini saja. Mungkin saja Rian tau aku dari band kampus. Aku kan sering main di situ..”

“Kamu main di band kampus??” tanya Grace kaget. Sorot mata gadis itu penuh kekaguman.

“Di balik layar. Jadi panitia tiket sama ngurus kalau mau pada manggung.” sahut Yong Dae lalu tertawa kecil, membuat wajah sumringah Grace berubah manyun.

“Yeeee kirain.. Kalau cuma di balik layar aku juga bisa!”

“Hehehehe, eh tapi jangan salah… begini begini aku famous loh hahaha”

Sebuah jitakan mendarat mulus di kepala Yong Dae.

“Ish, dari SD ga berubah, jitakanmu tetep nomer 1!” Yong Dae meringis sambil mengusap kepalanya. “Tapi kamu cantik banget lho Grace hari ini..”

Grace menoleh. Ia berusaha kelihatan ngambek tapi yang terlihat justru pipinya yang merona.

Pagi ini Grace memang tampil beda. Rambutnya yang panjang sebahu dibiarkan terurai bebas, dan dihiasi sebuah bando keperakan cantik. Ia mengenakan gaun terusan selutut semi-baloon warna putih, plus sepasang flat shoes di kakinya.

“Mau aku timpuk lagi, nih?!” Grace berlagak melepas sebelah flat shoesnya, pura-pura hendak melempar Yong Dae

“Jangaaan Ampuuun mbaaak!” Yong Dae reflek mengangkat tangannya ke depan

Grace tertawa kecil dan memasang kembali sepatunya. “Becandaaaa, yuk ah kita jalan!”

***

Vita terduduk putus asa di sebuah café. Gadis itu gelisah, sebentar sebentar menengok ke arah jendela. Kalau kalau ada seseorang datang.. Seseorang yang ia tunggu dari tadi.. Someone’s specialnya..


Lalu…

“Vit!”

Vita menoleh karena merasa dipanggil. Dan saat itu juga jantungnya terasa berhenti. Tuhan mendengar doanya! Cowok yang ia tunggu dari tadi datang! Alvent datang!

“Maaf aku telat. Maaf aku belum membuka suratmu. Maaf aku belum membacanya satu persatu. Maaf aku belum bisa membalasnya. Maaf aku nggak bisa telepon. Maaf aku nggak bisa sms kamu. Maaf aku belum bisa mengirimimu email. Maaf karena ini semua salahku!” ujar Alvent terbata-bata sambil berusaha mengatur nafasnya.

Vita hanya bisa melongo sambil memperhatikan Alvent.

“Kamu.. duduk dulu deh.. Aku ngerti maksudmu..” kata Vita.

Kemudian Alvent duduk dan mulai menceritakan semuanya, tak terkecuali masalah Sarah.

“Apa?” Vita hampir tersedak mendengar kalimat terakhir dari cerita Alvent.

“Sarah, sahabatku itu, ternyata menyukai aku, Vit.” ulang Alvent

“Mm… Naksir maksud kamu?” tanya Vita lirih, ia mengoles mayonaise pada roti isinya.

“Yah—sejenis itu lah.. Kamu tau kan.”

Mereka terdiam dalam keheningan yang agak mengerikan.. Sampai Alvent buka suara.


“Maafin aku Vit.. Tapi kamu tau, aku cuman sayang sama kamu! Meskipun Sarah—atau siapapun naksir aku, aku nggak bakal berpaling dari kamu. Kamu tau, aku sayang kamu, hanya kamu, just you, nggak ada yang lain. Aku bakal setia, Vit. Aku janji, dan kamu bisa pegang janjiku.” ujar Alvent mantap, lalu menggenggam tangan Vita.

Vita menatap Alvent dalam dalam, seakan berusaha mencari ‘kesungguhan’ di mata lelaki itu.

“Ah ya baiklah, Vent. Aku nggak marah kok. Aku bisa ngerti, karena ini juga bukan salah siapa-siapa—bukan salahmu atau Sarah.” sahut Vita sambil tersenyum, membuat hati Alvent sedikit lega.

“Kalau begitu, ayo kita ke rumahku. Masalah ini perlu penjernihan,” Alvent menarik pelan tangan Vita “Dan—Penyelesaian.”

Vita hanya bisa menghela nafas dan mengangguk, mengikuti kemauan Alvent.


***

@Alvent’s House

“Sarah, kamu udah tau kan, apa tujuanku manggil kamu ke sini?” tanya Alvent pelan.

Sarah hanya terdiam. Ia menunduk.

Nah, jadi—ayo kita selesaikan masalahnya.” tambah Alvent lagi.

Setelah itu tak ada yang berbicara. Semua larut dalam keheningan yang tidak mengenakkan.

Sudah kurang lebih dua jam mereka diam-diaman, sibuk dengan pikirannya masing masing. Akhirnya Alvent berkata..

“Sarah, aku.. Minta maaf, tapi aku nggak bisa sama kamu. Aku cuma sayang sama Vita, kau harus tau itu. Sekali lagi maaf ya Sar.”

Hati Sarah bagaikan dihujam ribuan pisau saat itu juga. Alvent jelas menolaknya—dan ia sudah tau semua ini bakal terjadi, jauh jauh hari sebelumnya—namun tetap saja hatinya sakit. Penolakan yang telak, batin Sarah.


Alvent kemudian menggandeng Vita yang menatap Sarah dengan tatapan bersalah, mereka berdua pergi keluar, hendak meninggalkan rumah tersebut, namun…

“Alvent!”

Panggilan Sarah menghentikan langkah Alvent.

Alvent pun berbalik dan Sarah langsung menghambur memeluknya. Cukup lama dan erat.

Vita sendiri shock dibuatnya. Namun ia membiarkan karena ia mengerti perasaan Sarah saat ini.

Sarah menangis di pelukan Alvent. Lalu ia menghapus air matanya sebelum terlihat oleh Alvent.

“Vita, aku minta maaf sudah menyukai kekasihmu..” ujar Sarah lalu gantian memeluk Vita.

“Nggak papa Sar.. Itu bukan salah kamu..” Vita balas memeluk Sarah.

“Dan kamu, Vent…” Sarah berbalik arah, kemudian menepuk pundak Alvent pelan. “Kamu bakal menyesal sudah menolak cewek sebaik dan secantik aku.” Sarah tersenyum lebar.

Alvent jadi merasa bersalah. “Sar.. aku” belum sempat Alvent melanjutkan perkataannya, lengannya keburu digamit Sarah, dan gadis itu mendekatkannya kepada Vita.

“Jemput kekasihmu. Jangan buat ia menunggu.” goda Sarah sambil mengedipkan sebelah matanya.

Mau tak mau Vita & Alvent tersenyum. Kemudian mereka bertiga melangkah bersama ke gerbang depan.

Sebelum pergi, Sarah sempat-sempatnya berbisik kepada Vita, “Vit, jangan camburu ya, pelukan yang tadi itu pelukan seorang sahabat kok.”


Vita melambaikan tangannya lewat jendela mobil sebelum akhirnya mobil hitam tersebut tak terlihat lagi.

Sarah tak kuat lagi untuk pura-pura tersenyum. Air matanya mengalir deras dari kedua belah pipi gadis itu. Masih berat baginya untuk menerima kenyataan ini. Sangat sangat berat. Hatinya belum cukup kuat dan mentalnya belum benar-benar siap.

***

“Keren sunsetnya!” seru Vita kagum sambil menutup pintu mobil.

“Haha iya dong.. kan Alvent yang milih tempatnya..”

“Dasar Narsis!” sengus Vita

Di antara padang rumput yang luas.. Di tengah belaian angin sepoi sepoi, mereka berdua berangkulan sambil menyaksikan matahari terbenam.


We were both young when I first saw you
I close my eyes
And the flashback starts
I'm standing there
On a balcony in summer air…

See the lights
See the party, the ball gowns
I see you make your way through the crowd
And say hello, little did I know

That you were Romeo, you were throwing pebbles
And my daddy said stay away from Juliet
And I was crying on the staircase
Begging you please don't go, and I said

Romeo take me somewhere we can be alone
I'll be waiting all there's left to do is run
You'll be the prince and I'll be the princess
It's a love story baby just say yes
***

“Ih ketawa sendiri! AGK!” ujar Maria

“Apaan AGK?” tanya Butet

“Awas Gigi kering.. peace!”

“Dasar lu! Udah serius nih guenya..”

“Hehe makanya jadi orang tuh jangan serius serius amir, jadi gampang dikibulin, kan..”

“Gue gibeng bener dah lu!” Butet pura-pura hendak menjitak Maria

***

“Hai, Grace.”

Grace melongo melihat Ahsan ada di Korean Festival ini.

“Hai juga. Ngomong ngomong to the point aja deh ya. Lo nggak bakal jadiin gue ‘asisten’ lo lagi kan, di sini??” tanya Grace penuh selidik

“Haha ya nggak lah. Lagian masa jabatan lo udah abis juga.” canda Ahsan.

“Bagus!” Grace mendesah lega “Trus lo mau ngapain di sini?”

“Ngajak lo jalan. Yuk.” Tanpa ba-bi-bu Ahsan menggandeng tangan Grace.

“Eh.. gue mau diajak jalan jalan sama Yong Dae!” tolak Grace

“Udah.. sama gue aja yok… Yong Dae masih sibuk ngurusin stand-nya tuh! Lagian apa bedanya coba?” sergah Ahsan

“Yaaaah, ya udah deh..” sahut Grace akhirnya.

***

“San, aku mau main ini!” ujar Grace
Namun ternyata Ahsan sudah tak ada di sampingnya, tak lagi menggenggam tangannya. Grace bingung harus mencari Ahsan ke mana, di tengah sesak kerumunan orang begini.

Tiba-tiba…

BRUK!

Grace terjatuh. Ia tabrakan dengan orang orang yang lewat. Dan kakinya… luka.

“Duh….” rintih Grace sambil meniup niup luka pada kakinya yang terasa perih

“Grace!” seru Ahsan, yang langsung menghampirinya.

“Kamu nggak papa?” tanya Ahsan cemas. Wajah Ahsan bertambah pias melihat darah tidak berhenti mengucur dari luka pada kaki Grace.

Dengan sigap Ahsan melepas jaketnya, lalu mengusapkannya pelan pada luka Grace hingga darahnya berhenti.

“Nah, darahnya udah berhenti.. Sekarang tinggal dikasih ini..” ujar Ahsan sembari mengeluarkan sebuah plester.

Grace mendelik. Bukan karena kesakitan saat Ahsan memakaikan plester pada lukanya, namun karena… Ya, gambar plester itu! Gambarnya dot bayi!

Seingat Grace ada yang pernah memberinya plester serupa… Dia… PANGERAN PLESTER! Gosh!

Apa mungkin…



***

“Ah sialan telat! Semalem keasikan nonton Final Destination sih! Duh, mana pake higheels ga bisa lari jadinya! Malangnya nasibkuuuuu~” gerutu Maria sambil berjalan setengah berlari ke arah halte bus.

Kiss me, out of the bearded barley
Nightly, beside the green green grass
Swing swing.. Swing the spinning step
You wear those shoes and I will
Wear that dress oh....

Pas ginian aja ada yang sms! omel Maria lagi, lalu mengubek ubek tasnya untuk mencari handphone.

Tiba-tiba….

“Tiiiiiiiiiiiin!!”

BRAKKKKKKKKK

Maria membuka matanya. Takjub, ia sudah berada di tepi jalan. Tadi ia hampir saja ditabrak mobil… namun… ia berada di pinggir jalan?

Maria secepat kilat menoleh pada seseorang yang bersimbah darah di depan ban mobil kijang. Dan ia menangis ketika mengenali orang itu.. Simon…


————TBC————

Doa’in cepet lanjut ya temen temen… Yang udah setia nungguin FLS keluar makasih! Love ya all <3