Annyeong! *ppopo readers* :3
lama tidak berjumpa dan kali ini saya kembali dengan chapter 2 ff abal-abal bikinan saya wkwk =))
Title : I love You, Good Bye. #1
Author : Yudhitasari, Namira.
Main Cast : Kim Jong-In [EXO], Lee Hyerin [OC]
Support Cast : Shin Dongho [U-Kiss], Kim Soo Ra [OC], Kang Min Hyuk [CNBlue]
Genre : Sad, Romance
Rating : T [Teen]
Length : Chaptered
Disclaimer : Ini adalah ff pertama saya setelah sekian lama hiatus. Dulu sebelumnya pernah bikin ff juga tapi dengan tema yang berbeda, yaitu badminton, monggo bisa dicheck di fb saya, search aja: Namira Yudhitasari. *promosi dikit gapapa ya* *dibandem helm sama readers*. Maaf kalau kurang memuaskan karena lama gak nulis dan terus terang saya juga lupa gimana gaya bahasa saya dulu kalo nulis -___- jadi yang sekarang ini, totally different. mencoba membuat agak sedikit rapi aja, dan maaf kalo bertele-tele .__.v But Still, i make this with lots of love as a fangirl<3 *wink* *aegyo*. Oke jgn kebanyakan bct deh mir, langsung saja, terimakasih, comment jangan lupa yaaaaa^^ Gomawo *bow*
N.B: Typo bertebaran. Jeongmal mianhamnida, maklum, ada pergantian tokoh di tengah tengah penggarapan cerita. T_T
“Kalau
serius juga tidak apa apa.”
Hyerin membalikkan
badannya perlahan, menatap Jong-In yang berjalan di sampingnya. Jong-In
berjalan semakin cepat, meninggalkan Hyerin di belakang.
“Apa
maksudmu, Oppa?”
teriak Hyerin sambil berusaha mengejar Jong-In.
“Yaa—aku mau jadi pacarmu.”
***
“Hyerin-aa?”
Suara Jong-In membuyarkan lamunan Hyerin.Itu sedikit flashback kisah 2 tahun yang lalu, dan
ingatannya kembali pada masa sekarang, dimana Ia & Jong-In sedang berada di
sebuah café di daerah Appgujeong.
“Ne, Oppa? Waeyo?” Hyerin
tersenyum.
“Aku pulang dulu ya, sepertinya agak kurang enak badan.” Ucap
Jong-In. Namja itu kemudian memasukkan beberapa buku kuliahnya yang berserakan
di meja.
Senyum di wajah Hyerin agak sedikit memudar. Oppa agak berubah akhir akhir ini. Tapi pasti karena kecapekan saja…
bukan karena… ah, mulai deh aku berprasangka buruk.. Tidak, aku tidak boleh
egois seperti ini. Aku harus tetap tersenyum.
“Hati-hati, Oppa.” Ucap Hyerin. Jong-In hanya tersenyum. Gadis itu
melambaikan tangan sambil mengiringi kepergian namjachingu-nya.
***
Hyerin membuka pintu kamarnya perlahan. Ia membanting tubuhnya di
atas tempat tidur.
Sejenak kemudian, matanya tertuju pada sebuah foto yang
terpampang di atas meja belajar. Fotonya bersama Jong-In, saat kelulusan
Jong-In. Hyerin bangkit untuk mengambil foto itu. Sambil mengelus foto itu, ia
duduk di samping jendela kamarnya yang terbuka.
Entah kenapa, tiba-tiba, bulir
bulir bening jatuh dari matanya. Ia merasa sangat merindukan masa-masa itu.
Masa-masa dimana Jong-In masih sangat menyayanginya dan memperhatikannya.
Saat
mereka masih sering jalan bersama. Ia ingat setiap malam Jong-In selalu
mengiriminya pesan singkat, ‘Selamat Pagi, yeobo’, ‘Good Night, have a nice
dream’, dan pesan singkat semacamnya yang selalu berhasil mencerahkan harinya.
Jong-In selalu menyempatkan diri meneleponnya setiap minggu, sekedar untuk
memastikan kabarnya baik baik saja. Sekarang? Jangan tanya. Intensitas
pertemuan mereka semakin lama semakin berkurang. Jong-In makin sulit ditemui
karena tugas-tugas kuliah yang menggunung. Butiran bening itu semakin deras
mengaliri wajah Hyerin. Badannya letih, pikiran dan hatinya pun demikian. Tak
terasa, ia jatuh terlelap di siang hari yang terik itu.
***
“Hyerin-aa, kau sedang
apa? Masih tidur? Kibum-aa menunggumu
di bawah, katanya mau mengajakmu bermain basket.”
Hyerin mengerjapkan matanya. “Ne, eomma. Aku sudah bangun, sebentar lagi aku ke bawah.” Gadis itu
mengulet sebentar lalu bangkit untuk merapikan rambut.
Hyerin tertawa sendiri
ketika sampai di depan kaca, melihat matanya bengkak menjadi dua kali lipat
dari ukuran sebenarnya. Bagaimana tidak? Dirinya tertidur setelah puas
menangis, meninggalkan lingkaran hitam yang mirip seperti mata panda.
“Hyerin-aa!!~~”
Hyerin menghela nafas, kesal. Kenapa sih Kibum tidak pernah sabar
menunggunya merapikan diri?
“Aku turuuun~”
***
“Bisakah kau tidak berteriak? Suaramu itu seperti gajah, tahu.”
Keluh Hyerin sambil menuruni tangga.
“Berarti kau itu sahabatnya gajah~” balas Kibum tak mau kalah.
“YA!!” Hyerin menaikkan intonasinya lalu menimpuk Kibum dengan bola basket di
sebelahnya.
“Kkaja, kita berangkat! Sebentar lagi petang.”
***
Hyerin memantulkan bola basket beberapa kali ke tanah, lalu tubuhnya
berputar..berputar…dan BLUSH! Bola basket itu pun berhasil dimasukkan ke dalam
keranjang. Hyerin tersenyum puas. Moodnya selalu tertolong dengan bermain
basket.
Tiba-tiba gadis itu membalikkan badan, merasa jengah dengan pandangan
mata seseorang yang seolah sedang mengawasi maling ayam.
“Apa yang kau perhatikan, Kibum-aa~??” tanya Hyerin galak. Kibum
menggerakkan kepalanya sedikit.
“Kau habis menangis lagi ya? Dasar cengeng.”
Emosi Hyerin tiba-tiba hendak meluap lagi. Hyerin sendiri heran
karena biasanya ia tidak se-sensitif ini. Akhirnya ia putuskan untuk tidak
mempedulikan ucapan Kibum, dan kembali bermain basket.
“K-I-M H-Y-E-R-I-N, aku
sedang bicara denganmuuuuuuuu”
Suara Kibum mengusik konsentrasi Hyerin sehingga tembakannya
meleset. “Ada apa lagi sih? Aku sedang tidak ingin bercanda, Kibum-ah.”
“Kau belum menjawab pertanyaanku. Kau menangis lagi, kan?”
Hyerin hanya diam. Tangannya masih sibuk mendribble bola. Nafasnya
tiba-tiba terasa berat dan air mata mulai memenuhi pelupuk matanya.
“Ceritakan saja. Aku siap mendengarkan.” Kibum memegang telinganya
sendiri, berusaha menunjukannya pada Hyerin. Hyerin tersenyum haru. Se-iseng
dan se-usil apapun Kibum, cowok itu tetap sahabatnya, satu-satunya orang yang bersedia
mendengarkan semua curhatannya tanpa melakukan interupsi. Walaupun tidak selalu
memberikan solusi. Tapi setidaknya, kehadiran Kibum sangat membantu mengurangi
kesedihan hatinya.
“Jong-In lagi?” tanya Kibum dengan pandangan
‘ini-benar-benar-tidak-bisa-dipercaya’. Hyerin terkikik kecil. “Aku sangat
mudah ditebak ya? Haha. Ngg..begitulah.”
Dan cerita Hyerin mulai mengalir keluar tanpa terhenti. Gadis itu
benar benar ingin meluapkan segala keresahan hatinya. Membagi masalahnya pada
Kibum. Setidaknya ini mengurangi beban pikirannya dan menenangkan batinnya
untuk sementara waktu.
“Sudah?”
Hyerin hanya mengangguk, sibuk menyeka air mata dan ingusnya yang
berleleran kemana-mana.
“Yah, Hyerin-aa, bukannya bermaksud menggurui. Tapi cinta mungkin
memang butuh pengorbanan untuk bisa mencapai sebuah kebahagiaan… kalau kau
sudah menangis sekarang, mana mungkin kau bisa bertahan nanti?”
Kibum bangkit, memantulkan bola basket ke papan di sekitar ring
beberapa kali. “Jadi,” lanjutnya, “Kalau memang sudah tidak kuat, lebih baik
menyerah sekarang daripada lebih menderita nantinya.”
“Aku tidak mau!! Aku tidak mau berakhir seperti ini! Aku.. aku masih
sangat menyayangi Jong-In Oppa…..” ucap Hyerin setengah berteriak.
Kibum tersenyum.
“Kalau begitu, kau sudah tau apa yang harus kau
lakukan sekarang kan?”
***
“Aku pulang,”
Jong-In melepas sepatu kets converse-nya
lalu melangkah dengan gontai ke dalam rumahnya. “Eomma, aku pulang.”
“Oh, kau sudah pulang, baguslah. Eomma hendak pergi sebentar dengan
Appa-mu. Tolong jaga rumah ya, Jung San sedang lomba mewarnai di sekolahnya.
Nanti biar kami saja yang menjemputnya,”
Jong-In hanya mengangguk.
“Kau sudah makan? Wajahmu pucat sekali, Jong-In-aa, jangan lupa makan ya sesibuk apapun pekerjaanmu.”
“Ya, eomma.” Jong-In
menjawab singkat. “Sudah hampir pukul 12, lho.”
Eomma melihat ke arah jam dinding. “Ah, ya sudah, kalau begitu kami
berangkat dulu, ya, annyeong.”
“Annyeong, Eomma, Appa, hati-hati di jalan.”
Jong-In menutup pintu rumah dan baru saja hendak melangkah ke
kamarnya, ketika pintu rumah kembali diketuk.
“Ada apa, Eomma? Ada yang ketinggal— Oh, ternyata kau, Dongho-aa. Tumben kemari.”
Seorang anak laki-laki berdiri di depan pintu rumah Jong-In.
Wajahnya nampak cemas. “Eun Mun-noona…”
Jantung Jong-In berdesir mendengar nama itu disebut. Raut wajahnya
mulai menegang. “Kenapa dengannya?”
“Eun Mun-noona….sudah
kembali ke Daegu, hyung. Ia… sudah
kembali dari Seoul.” ucap Dongho
ragu-ragu.
Bagaikan disengat listrik ribuan volt, Jong-In langsung terdiam di
tempat. Gadis itu….kembali?
***
“…”
“Jong-In-aa!”
Jong-In menoleh dengan kaget.
“Dari tadi siang pasti kau belum makan. Meja makan rapi sekali,
keadaaannya masih sama seperti waktu Eomma tinggal. Nah, makanlah dulu. Kan
sudah Eomma katakan, jangan sampai kelupaan makan!” Eomma menyodorkan sepiring ddaeokboki ke arah Jong-In. Jong-In
hanya menunjukkan cengiran khasnya seperti biasa. “Mianhae, Eomma. Tadi siang aku tidak lapar, tapi malam ini aku
pasti makan. Gomawo, Eomma.”
“Ya sudah. Tapi jangan sampai kelupaan lagi ya, Eomma tidak ingin
kau sakit.”
Jong-In mengangguk saja. Sambil mengunyah ddaeokbokki pemberian Eommanya, kata-kata Dongho terngiang lagi di
kepalanya.
“Eun Mun-noona….sudah
kembali ke Daegu, hyung. Ia sudah kembali dari Seoul.”
Jong-In terdiam. Song Eun Mun….. Gadis itu adalah cinta monyetnya, cinta pertamanya.
Gadis itu pernah menjadi bagian terpenting dalam kehidupannya. Namun, saat
Jong-In yakin akan pilihannya untuk menyatakan cinta pada Eun Mun… gadis itu
justru pergi jauh, tak terjangkau lagi, meninggalkannya.
“Jong-In-aa, kita harus
berjanji akan terus bersama, ya?”
Jong-In tersenyum sinis. Pada
akhirnya, siapa yang ingkar janji, ha? Dasar pembohong!
Jong-In pun memutuskan untuk tidur saat itu juga. Ia tidak ingin
memikirkan gadis itu lagi. Ia tidak mau
hidupnya dikacaukan lagi, oleh orang yang sama.
***
“YA! Kim Jong-In! Ada Eun
Mun-aa di depan. Berilah salam padanya, dari kemarin ia terus mencarimu.”
Panggilan Eomma dari luar tidak dihiraukan oleh Jong-In. Lebih baik aku pura-pura tidur saja,
daripada disuruh menemui perempuan itu, batin Jong-In. Jong-In memasang
earphonenya dengan volume maksimal, ia sama sekali tidak berniat untuk keluar
kamar selama gadis bernama Eun Mun itu masih berada di luar.
“Jong-In-yaaah~~ Apa kau tidak kasihan pada Eun Mun-aa?”
Kasihan? Untuk apa kasihan
pada orang yang sama sekali melupakan kita?
Eomma menghela nafas. Ia tau Jong-In tidak akan bisa diganggu kalau
sudah begitu, mau dipaksa sekeras apapun. Eomma melangkah perlahan ke arah
pintu depan. “Eun Mun-aa, jeongmal mianhae, Jong-In sepertinya
masih tidur… Apa ada pesan yang bisa kusampaikan?”
Eun Mun melirik jam tangannya. Pukul 11 siang. Masih tidur? Ia telah
mengenal Kim Jong In dan pria itu adalah seseorang yang sangat rajin bangun
pagi. Pantangan baginya untuk bangun lebih dari jam 9, sekalipun itu adalah
hari libur. Gadis itu tersenyum sedih memikirkan kemungkinan—kemungkinan bahwa
Jong-In benar-benar tidak ingin menemuinya lagi. Wajahnya yang tadinya cerah
berubah jadi kalut. “Aniyo, ahjeomma…
khamsahamnida.. Besok saja aku mampir
lagi.. Maaf mengganggu siang-siang…”
***
Jong-In duduk di depan sofa, mengganti-ganti channel televisi dengan
asal. Sudah berapa hari ini ia bolos kuliah. Ia pikir percuma jika masuk kuliah
namun pikirannya tidak bermuara ke sana. Percuma, karena yang dipikirkannya
sekarang justru gadis itu. Ya, gadis itu, Song Eun Mun.
“YA! Kau ini bermalas-malasan saja dari kemarin! Pergilah belanja, Jong-In aa, gerakkan sedikit badanmu!”
perintah Eomma dari dapur.
Jong-In menghela nafas panjang. Dari nada bicaranya ibunya,
kelihatannya beliau sedang tidak bisa dibantah. Jadi, daripada kepalanya
dilempar penggorengan, lebih baik ia pergi.
”Ne, Eomma, arraseo, aku
berangkat sekarang.”
Jong-In mulai berjalan perlahan ke arah pasar. Ketika sibuk
memilah-milah sayur dan daging sesuai pesanan ibunya, pria itu melihat
sekelebat sosok yang tidak asing. Eun-Mun! Dan gadis itu sedang menghampiri
dirinya sekarang! Jong-in segera membayar belanjaannya dan berjalan cepat
meninggalkan pasar. Mengapa harus bertemu dengan orang-nomer-satu-yang-paling-tidak-ingin-ditemuinya
di saat yang tidak tepat seperti ini?
Walaupun Jong-In telah berjalan dengan cepat—ia hampir berlari,
malah—namun Eun Mun tetap gigih mengikutinya. Jong-In memang tidak melihat
secara langsung, namun ia memperhatikan gerak gerik Eun Mun dari sudut matanya.
Akhirnya, mereka berdua sampai di rumah Jong-In tanpa mengucapkan
dialog apapun. Jong-In baru saja hendak melangkah masuk ketika sebuah suara
mengusik perhatiannya.
“Jong-In-aa…..”
Jong In berusaha tidak menghiraukan suara itu. Ia malah membawa
belanjaannya ke pintu samping—bermaksud masuk lewat sana, namun, sebuah tangan
mencekal lengannya.
“Jong-In-aa maafkan aku.. Jebal..”
Jong-In menghentak tangan Eun Mun dengan kasar lalu menoleh pada
gadis itu dengan tatapan garang.
“Mau apa ke sini?”
Eun Mun menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku, aku mau meminta
maaf….. aku sudah meninggalkanmu tanpa pemberitahuan apapun…”
Jong In tersenyum sinis. “Maaf
untuk apa? Untuk sesuatu yang sudah
terjadi dan sudah berlalu? Bukankah
itu percuma dan hanya menyia-nyiakan waktu saja?” katanya penuh penekanan.
Setelah berkata begitu, Jong-In benar-benar melangkah masuk ke dalam
rumahnya, meninggalkan Eun Mun yang menangis sendirian.
***
“Ada apa Hyerin-aa? Kenapa
wajahmu kusut sekali?~” Jong-In mencubit pipi chubby Hyerin dengan gemas.
Hyerin memanyunkan bibirnya. “Aku kangen sekali padamu, Oppa!!”
“Ahaha kau ini. Aku juga kangen sekali padamu.” Jong-In tersenyum
lebar sambil mengacak rambut Hyerin.
“Kemana saja sih selama ini? Sudah 3 hari tidak masuk kuliah kan?”
“Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan.” Sahut Jong In sok
misterius sambil mengedipkan matanya pada Hyerin, mau tidak mau membuat gadis
itu tertawa geli.
Jong In memperhatikan Hyerin yang sedang tertawa, lalu dirinya
tersenyum. Ya, aku sudah memiliki gadis
ini, sekarang dialah yang terpenting bagiku. Aku harus maju dan melihat ke
depan. Tidak ada lagi Eun Mun. Tidak ada lagi gadis itu.
“Oppa, waeyo? Ada sesuatu yang menempel pada wajahku, ya?” tanya
Hyerin dengan wajah polos.
Jong-In tertawa renyah. “Ani,
ani. Hanya saja kau sangat manis, chagiya.”
Wajah Hyerin mulai bersemu. “Ya! Jadi selama 3 hari tidak masuk
kuliah, kau belajar rayuan gombal semacam itu, Oppa? Neon jeongmalyo! Aku tidak akan tertipu!!” Gadis itu menjulurkan
lidahnya, membuat Jong-In tersenyum lagi.
Ya, kau harus maju, Kim
Jong-In.
***
Rupanya Eun Mun bukanlah perempuan yang menyerah begitu saja. Ia
sangat gigih mengunjungi rumah Jong-In, sekedar menitipkan pesan atau
membuatkan makan siang untuk keluarga pria itu. Ia sungguh-sungguh ingin
meminta maaf dan menjelaskan agar semuanya menjadi jelas. Namun Jong-In tidak
pernah menggubrisnya—bahkan untuk sekedar mengucapkan salam.
“Hyung, kau benar-benar keterlaluan!! Tidak bisakah kau menggunakan
perasaanmu sedikit? Di luar sana Eun-Mun-noona pasti sendirian menunggumu, tapi
kau….kau malah duduk-duduk santai seperti ini!”
Jong-In tetap menyibukkan diri di depan laptopnya—bersikap seakan
telinganya tuli dan tak mendengar ucapan Dongho.
“Ya sudah, biar aku saja yang menjemputnya! Dasar hyung babo!” umpat Dongho sebelum
akhirnya ia mengambil mantel dan pergi keluar. Pintu depan pun ditutup dengan
keras.
Jong-In menurunkan kacamatanya sedikit. Sejak kapan ia jadi se-kurang ajar itu?, batin Jong-In lalu
menghela nafas. 2 hari yang lalu, Eun Mun mengirimkan sepucuk surat yang
dititipkan pada Eomma.
“Jong-In-aa, apa kabarmu?
Aku benar-benar merindukanmu. Sudah berapa tahun ya, kita tidak
berjumpa?”
Hah. Gadis ini sok
berbasa-basi segala rupanya.
“Mungkin kau masih sangat marah padaku karena kejadian waktu itu.
Aku memang bersalah karena kepergianku benar-benar mendadak dan aku tidak
sempat memberi tahumu. Tapi yang perlu kau ketahui, aku benar benar,
benar-benar ingin minta maaf.”
Jong-In berjalan ke arah jendela kamarnya yang terbuka, lalu
meneruskan membaca surat itu lagi.
“Banyak sekali yang ingin aku bicarakan denganmu. Aku tidak mau
hubungan kita terus-terusan seperti ini. Kalau kau bersedia, temui aku di COEX
Aquarium, hari Sabtu jam 7 malam.”
Itulah akhir surat Eun-Mun. Walaupun Jong-In sedikit terketuk untuk
pergi menemui gadis itu, namun pada akhirnya, egonya tetap mengalahkan semua.
Darrr!
Terdengar suara petir, setelah itu diiringi dengan turunnya hujan
deras. Jong-in cepat-cepat menutup jendela kamarnya. Beberapa saat kemudian,
handphonenya berbunyi.
“Yeoboseyo?” ucap Jong-In
mengawali percakapan.
“….”
Aneh sekali, kenapa tidak
dijawab? Apa
telpon iseng?, batin Jong In. “Yeoboseyo?”
ulang Jong-In lagi.
Jong-In baru saja akan menutup telepon ketika terdengar
suara dari seberang sana. Dan kata-kata yang terdengar langsung membuat
tubuhnya kaku.
“Hyung, Eun-Mun-noona
pingsan! Tolong bantu aku!”
Secepat kilat, Jong-In menyambar mantelnya lalu melesat menuju COEX.
To-Be-Continued.
Saran dan komentar sangat dibutuhan demi perbaikan penulisan. RCL please, don't be a silent reader ;)) gomawoyo! \^^/
Saran dan komentar sangat dibutuhan demi perbaikan penulisan. RCL please, don't be a silent reader ;)) gomawoyo! \^^/
Annyeonghaseyo^^ anak kiyut first comment yaps~ ~(^o^~)(~^o^)~
ReplyDeleteEcie eon, Kai egoismenya tinggi banget ya-_- Gemes aku jadinya.. Tapi EunMun itu siapa sih sakjane--"
Aaaa jangan sampe Kai entar balikan sama noona jahat-main-tinggal itu-_- kasihan Hyerin nanti!!
Pokoknya endingnya Kai harus sama Hyerin! *maksa*
Kalo enggak sama Hyerin, Kai suruh balikan sama Park Minri aja.........*aegyo* *kesandung* *digebukin teleporters*
Lanjut! Lanjut! Lanjut! Update really soon!!! *bakar poster* *bikin demo* =))
Gomawoyo sudah dibolehin ngerusak page komennya whoahahahahaha=))
-박 민리-
Ahahaha kasian ya Kai, sering jadi main cast di ff tapi hampir selalu jadi bad boy wkwk *poor Kai* =))
ReplyDeleteNantinya, Kai sudah ditetapkan akan menikah dengan Kim Soo Ra yang nulis ff ini ;))) *dipelototin kkamjong* kekeke ^^v
Siaaaap, ditunggu saja eaps~ gomawoyo udah baca & komentar!! *peluk Min Ri-ya* ^^
Kamu juga jangan hiatus yaaaaa, earthise sangat menantikan ff ff barumu *including me* :')