akhir akhir ini menyebalkan sekali karenaaaaa
banyak ulangan dan latihan soal! :P
Dress-Up Game :3
Tuesday, October 12, 2010
Full-Surprise-Life Part 10
Maria mendengus kesal sembari melirik Butet yang dari tadi terus-terusan terkikik di sampingnya.
“Butet! Udah cukup ketawanya! Aku ga konsen nih!” Gerutu Maria
Butet melirik Maria—Belagak takut “Ampun Mar! Hehehehe. habis liat aja tuh!” ia lalu menunjuk ke arah seseorang.
Seseorang—seorang cowok, tepatnya—yang daritadi ngeliatin Maria bagai melihat bidadari turun dari kahyangan.
“Uuuuh” Maria bergidik ngeri sambil mencuci cangkir cangkir kotor bekas cangkir.
“Siapa tuh namanya? Penggemar berat baru lu! haha” goda Butet sambil mencolek dagu Maria.
“Simon. Namanya Simon. Ah nyebelin banget tuh orang. Bisa bisa bikin gue gila!” omel Maria, hampir membanting piring yang barusan dicucinya.
“Hush sembarangan aja kalo ngomong! Kayaknya dia baik tuh, lumayan ganteng kooook” Butet masih menggoda Maria.
“Ganteng? Buat lo aja deh, makasih.” sahut Maria.
“Yeeee orang dia naksirnya sama eluuu kok jadi gue?? Liat tuh, tatapan matanya, menusuk booo hahaha” canda Butet lagi
Maria reflek melirik ke arah cowok bernama Simon tadi. Dan… Simon memang sedang memandang dirinya—tajam tajam!
Gosh!
***
Grace hanya bisa terpaku. Bakso yang tadi hendak dilahapnya dijatuhkan lagi (ke dalam mangkok).
“Ih buruan dimakan deh tuh bakso.. ntar keburu dingin.” ujar Nitya, masih menyendok baksonya.
“Hooh Grace.. ntar keburu gue samber loh tu bakso! hehehe” canda Shendy, yang mangkoknya sudah kosong dari tadi.
Grace tetep tak bergerak. Masih memandangi seseorang lekat lekat..
“Gitu amat, liatin siapa sih??” seru Pia lalu mendongakkan kepalanya. “Cieeee Kak Rian toh.. ehem ehem..” Pia kembali duduk lalu melanjutkan makan bakso.
Seketika Grace menoleh. “Siapa?? Kak Rian??”
Pia hanya mengangguk.
Grace langsung tersenyum penuh arti. “Jadi namanya Kak Rian..” gumamnya kecil.
“Ada apa sama kak Rian??” tanya Shendy penasaran.
“Haha, kayaknya dia yang waktu itu nabrak gue, Shend” sahut Grace, masih senyum senyum sendiri.
***
Vita menggaruk garuk kepalanya. Gusar. Masih belum ada email juga dari Alvent.
Tiba tiba…
*Penasaran? Iklan dulu, kita ke other couple ya? haha*
***
“Fyuuuh! Akhirnya selesai juga!” Butet tersenyum puas melihat meja yang susah payah ia lap akhirnya kinclong.
“Udahan Tet? Pulang bareng yuk.. takut nih gue.. kemaleman!” ajak Maria sambil mencangklong tas tangannya dan memakai jaket.
“Pulang bareng?? Bukannya lo naik bis mar? Trus sepeda gue ntar gimana??” tanya Butet sambil mengerutkan alisnya.
“Yah paling ga kita barengan sampe deket halte deh… takut gue soalnya udah gelap banget men!”
Butet menoleh pada Maria. Gadis manis berambut panjang itu sedang ‘memasang’ jurus andalannya. Tatapan mata memelas (yang kata Butet mirip anak anjing—membuat Butet luluh, nggak bisa menolak apapun permintaan Maria).
“Yaaaaa deeeeeeeh” ujar Butet akhirnya.
“Horeee thanks ya tet hehehehe” Maria tertawa senang.
Tiba-tiba…
Jegrek. Pintu Café terbuka. “Hai Mariaaaa!!”
Mata cokelat Maria langsung membulat.
Gosh, Simon! Kenapa harus dia sih yang dateng??
Butet langsung menyikut lengan Maria berulang ulang.
“Tuh jemputannya udah dateng. Kayaknya gue ga diperluin lagi deh ya.” ujar Butet lalu nyengir lebar, tertawa penuh arti.
Maria memanyunkan bibirnya.
Bibir Maria semakin manyun ketika melihat seorang lagi datang… Pak Hendra!
“Tet, pulang bareng sama saya aja ya? Tuh Maria udah dijemput cowoknya.” ujar Hendra tanpa dosa.
Maria langsung mendelik lalu geleng geleng kepala, ingin memberi isyarat bahwa Simon bukanlah pacarnya. Namun perhatian Pak Hendra sepenuhnya sedang tertuju pada Butet alias Liliyana sehingga tak memperdulikan apapun selain Liliyana (ceilah romantis amat??).
“Hah! b..boleh deh pak.” sahut Liliyana.
Wajahnya memerah— baru sadar telah terlalu lama memperhatikan Hendra. From head to toe. Habis penampilan Hendra memang rapi banget sih.
“Hendra, aja.” ralat Hendra, lalu menggandeng tangan Butet. Butet kaget, namun nggak berusaha untuk menolak, malah mempererat genggaman tangan Hendra.
“Mar, tapi lo.. gim” Butet bertanya khawatir pada Maria
“Udah gapapa!” Maria mendorong Butet ke arah Pek Hendra. “Byeee, have fun yaa”
Walaupun masih ragu untuk meninggalkan Maria, namun akhirnya Butet pergi juga dengan Hendra.
Maria tersenyum senang sambil memandangi kedua muda-mudi tersebut berjalan menjauh.
Namun sesaat kemudian senyum manisnya memudar, digantikan oleh helaan nafas panjang.
Maria menoleh ke arah Simon. Cowok itu sedang memperhatikannya dengan takjub.
Aduh, tatapannya benar-benar menjengkelkan! seolah aku ini makhluk ajaib—sapi berkaki delapan, misalnya. Grrrr!
“Mau minum apa?” tanya Maria ketus, ia melepas jaket dan tas tangannya lalu beranjak ke dapur. Kelihatan sekali ia tak ingin berbasa-basi.
“Terserah. Adanya saja.” jawab Simon, masih juga memperhatikan Maria.
Maria mendelik kesal. “Kau ini!— Maumu apa sih sebenarnya? Kenapa daritadi memperhatikan aku terus?!”
Simon tampak terkejut oleh ucapan Maria. Lalu wajahnya berubah mendung. Tampaknya ia merasa bersalah. “Maaf. Aku nggak bermaksud macam macam kok, aku hanya terkesan pada gadis cantik sepertimu yang masih peduli, pada orang seperti aku, maksudku—sudahlah! mungkin memang tak ada lagi orang yang mau menjadi temanku, walaupun sekadar mengajak bicara. Maaf, sebaiknya aku pulang saja.” ujar Simon lalu bangkit sembari memakai kupluk coklatnya.
“Ah ya,” Simon berbalik sebentar. “Terima kasih, kopinya enak sekali.” Cowok berambut cepak itu tersenyum manis kepada Maria, sebelum akhirnya benar benar menghilang.
Maria sempat terpana oleh kehangatan senyuman Simon. Namun akhirnya ia tersadar, “Ngomong ngomong soal kopi, enak, katanya? Aku bahkan belum membuatkan dia apa-apa! Dasar sinting!” Maria berdecak heran.
***
Tiba-tibaaaaaaa……
Perut Vita… berbunyi keras. “Krucuuuk”
“Oh sial, kelupaan makan malam gara-gara nungguin email nggak jelas itu.” omel Vita.
Gadis berambut cepak itu kemudian melepas kacamatanya, dan beranjak ke dapur untuk membuat roti isi.
***
“Nggak dateng lagi? Ya ampun.. sampe kapan sih aku harus nunggu?” gerutu Alvent.
“Masih nungguin email dari Vita?”
Alvent menoleh. “Hai Sarah,”
“Hehe. Tapi bener kan?” tanya Sarah lagi.
“Yaah tau sendiri lah. Udah ya, aku mau ke bawah dulu.” seru Alvent
“Ngapain?”
“Cari angin”
Alvent pun menuruni tangga. Tak lagi mempedulikan Sarah. Pikirannya benar-benar kacau hari ini, gara-gara memikirkan Vita.
“Dingin banget sih hari ini.” Alvent mengencangkan jaketnya.
Ia berhenti melangkah ketika melihat sebuah benda yang menarik perhatiannya. Sebundel kertas di tempat sampah.
Alvent mengernyit heran. “Surat?” gumamnya sambil membolak balik kertas yang ternyata adalah amplop.
Dan begitu melihat alamatnya Alvent tersadar. Sekarang ia tau mengapa surat-surat dari Vita tak pernah sampai ke tangannya.
***
“Pak Hendra, terima kasih ya sudah mau mengantar saya.” ujar Butet sambil tersenyum kepada Hendra.
“Liliyana, berapa kali sih aku harus bilang, Hendra aja.” sahut Hendra
“Ah.. iya.. makasih ya, Ndra.” ulang Liliyana lirih.
Ketika Butet akan membuka pintu mobil, Hendra menarik tangannya pelan. Reflek Liliyana berbalik.
“Ada apa?” tanya Liliyana. Wajahnya merona.
“Enggak. Cuman rasanya aku ngga rela kamu pulang, Li.”
Suasana setelah itu benar benar sepi. Liliyana dan Hendra terdiam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya suara jangkrik yang terdengar.
Hendra menatap mata Liliyana yang bening. Liliyana gentian menatap Hendra.
Lalu keduanya memejamkan mata.. mendekatkan wajah dan mereka pun…..
(Bayangkan sesuai imajinasi pembaca masing masing. Jangan ngeres! ^^V)
***
Liliyana membanting tubuhnya di kasur. Kepalanya pusing, badannya panas. Padahal seharian tadi ia merasa sangat sehat. Liliyana lalu memandang dirinya di cermin. Ia menyentuh bibirnya perlahan dan seketika terbayang lagi kejadian di mobil yang baru saja terjadi.
Terbayang lagi ketika Hendra mengecup manis bibirnya. Kecupan yang lembut dan penuh perasaan. Membuat Liliyana serasa melayang di awang-awang. Lalu gadis itu tersenyum manis sekali sebelum akhirnya berlayar ke alam mimpi.
***
“Grace, ayo ikut korea-festival. Di sana kau bisa bertemu Yong Dae.”
Grace menoleh dan mendelik seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Rian, berdiri di depannya, tersenyum, sambil mengangsurkan sebuah selebaran.
10 detik kemudian, Grace masih saja melongo, membuat Rian tertawa terpingkal-pingkal.
“Aduh.. maaf.. aku tak bisa berhenti tertawa.. habis ekspresimu lucu sekali sih!”
Grace merona. Ia tetap berusaha tersenyum sekalipun sebenarnya ia maluuuu sekali!
“A..ada apa kak? Tumben..”
“Ini. Aku cuma mau ngasih ini.” Rian mengangsurkan selebaran itu lagi.
“Korean Festival?” Alis Grace mengerut.
“Yep. Kamu bisa ketemu Yong Dae di sana. Kabar yang kudengar katanya ia membuka sebuah stand.”
“Yong Dae??” Kali ini Grace mendelik. “Kakak tau dia???”
Ryan tertawa lagi, “Duh Grace kamu ini benar-benar gadis yang spontan ya! Ya sudah pasti aku tau, kita kan satu esde dulu.. kamu nggak inget?”
“Hah?” Grace benar-benar dibuat melongo kali ini. Dan seperti biasa, Rian pun kembali tak bisa berhenti tertawa.
***
“Apa maksudnya ini, Sarah?!” teriak Alvent lalu membanting bundelan amplop—lebih tepatnya surat, dari Vita, yang ia temukan kemarin.
Wajah Sarah berubah pias. “Ap.. apa-apaan ini? Aku nggak tau apa apa, Vent!” sergahnya.
“Jangan bohong! Kamu kan yang membuang semua surat dari Vita ini?! Selain kamu & aku nggak ada lagi yang keluar masuk rumah ini!”
Sarah terdiam. Wajahnya bertambah pucat. Ia tahu suatu saat ini semua akan terbongkar, namun sekarang, sangat berat untuk mengakuinya!
“Jawab Sarah! Aku sedang berbicara denganmu!” bentak Alvent.
Sarah memejamkan matanya, meringis ngeri. Ia takut, takut sekali. Belum pernah dilihatnya Alvent sampai semarah itu.
“SARAH, JAWAB AKU!! Apa kamu yang membuang semua surat ini?!” Emosi Alvent semakin menjadi.
Sarah mati kutu. Ia tau tak akan bisa ngeles atau beralasan apapun lagi.
Tiba-tiba Sarah memeluk Alvent..
Alvent mendelik.
“Maafin aku Vent. Tapi aku nglakuin ini semua karena aku sayang sama kamu, Vent. Aku cinta sama kamu, sebagai seorang lelaki, bukan seorang sahabat!” ujar Sarah, sambil memeluk Alvent dan menangis tersedu-sedu.
“Aku cinta kamu Vent! Nggak pernah kan kamu nyadarin itu, sedikit pun!” seru Sarah, melepaskan pelukannya. “Aku yang selalu ada buat kamu. Aku cewek yang paling deket sama kamu. Aku selalu berusaha nolong kamu tiap ada masalah. Aku perhatian, aku care sama kamu Vent!! Tapi kenapa kamu justru memilih Vita? Yang nggak pernah deket sama kamu sekalipun! Kamu nggak pernah ngelirik aku Vent! Bahkan dari segi fisik aku jauh lebih baik daripada dia!”
PLAK!!
Alvent menampar Sarah, cukup keras untuk membuat pipi gadis itu memerah.
“Jangan ngomong sembarangan. Aku memilih Vita bukan karena fisik. Juga bukan karena dia selalu nyari perhatian sama aku.” Alvent lalu menatap Sarah tajam. “Sekarang aku tau, kamu memberikan semua perhatianmu nggak tulus, bukan karena kamu memang ingin jadi sahabatku, tapi karena kamu mengharapkan cintaku, menginginkan aku jadi pacarmu, begitu, Sar?”
Sarah terdiam. Air matanya semakin deras mengalir. Ia masih sesenggukan.
Alvent lalu menggenggam tangan gadis itu.
“Jujur aku kecewa sama kamu, Sar. Aku kira kamu tulus, ingin menjadi sahabatku, sobatku, sohibku, yang paling setia dan selamanya menyenangkan. Tapi ternyata kamu nggak bisa. Nggak bakal bisa. Maaf Sar, aku bener-bener nggak bisa jadi pacar kamu. Karena kamu hanya kuanggap sahabat. Sahabatku, best friend forever. Dan juga karena aku sangat mencintai Vita.” Alvent menghela nafas. Sepertinya ia sendiri juga masih shocked, ‘ditembak’ oleh sahabat ceweknya sendiri.
“Satu lagi, Sar. Aku minta maaf banget, tapi kalau kamu masih mengharapkan cinta dari aku, lebih dari ‘cinta seorang sahabat’, lebih baik kita nggak perlu bersahabat lagi— atau malah nggak berhubungan lagi. Karena semua perasaan itu hanya akan bikin persahabatan kita hancur, dan.. semua perasaan itu hanya akan bikin kamu sakit hati, karena terus terang sampai kapanpun aku nggak akan pernah bisa membalasnya.”
Tangis Sarah benar-benar pecah sekarang. Hatinya hancur berkeping keping. Ia melepaskan genggaman Alvent, lalu berlari keluar. Meninggalkan Alvent dengan tatapan bersalah.
Sejak awal ia sudah tau kalau Alvent pasti akan lebih memilih Vita dibanding dirinya.
Tapi ternyata ia masih terlalu rapuh, untuk menerima semua kenyataan yang ada.
Bahwa dirinya tidak dicintai oleh Alvent. Bahwa cintanya tidak kesampaian. Bahwa cintanya hanya bertepuk sebelah tangan.
“Butet! Udah cukup ketawanya! Aku ga konsen nih!” Gerutu Maria
Butet melirik Maria—Belagak takut “Ampun Mar! Hehehehe. habis liat aja tuh!” ia lalu menunjuk ke arah seseorang.
Seseorang—seorang cowok, tepatnya—yang daritadi ngeliatin Maria bagai melihat bidadari turun dari kahyangan.
“Uuuuh” Maria bergidik ngeri sambil mencuci cangkir cangkir kotor bekas cangkir.
“Siapa tuh namanya? Penggemar berat baru lu! haha” goda Butet sambil mencolek dagu Maria.
“Simon. Namanya Simon. Ah nyebelin banget tuh orang. Bisa bisa bikin gue gila!” omel Maria, hampir membanting piring yang barusan dicucinya.
“Hush sembarangan aja kalo ngomong! Kayaknya dia baik tuh, lumayan ganteng kooook” Butet masih menggoda Maria.
“Ganteng? Buat lo aja deh, makasih.” sahut Maria.
“Yeeee orang dia naksirnya sama eluuu kok jadi gue?? Liat tuh, tatapan matanya, menusuk booo hahaha” canda Butet lagi
Maria reflek melirik ke arah cowok bernama Simon tadi. Dan… Simon memang sedang memandang dirinya—tajam tajam!
Gosh!
***
Grace hanya bisa terpaku. Bakso yang tadi hendak dilahapnya dijatuhkan lagi (ke dalam mangkok).
“Ih buruan dimakan deh tuh bakso.. ntar keburu dingin.” ujar Nitya, masih menyendok baksonya.
“Hooh Grace.. ntar keburu gue samber loh tu bakso! hehehe” canda Shendy, yang mangkoknya sudah kosong dari tadi.
Grace tetep tak bergerak. Masih memandangi seseorang lekat lekat..
“Gitu amat, liatin siapa sih??” seru Pia lalu mendongakkan kepalanya. “Cieeee Kak Rian toh.. ehem ehem..” Pia kembali duduk lalu melanjutkan makan bakso.
Seketika Grace menoleh. “Siapa?? Kak Rian??”
Pia hanya mengangguk.
Grace langsung tersenyum penuh arti. “Jadi namanya Kak Rian..” gumamnya kecil.
“Ada apa sama kak Rian??” tanya Shendy penasaran.
“Haha, kayaknya dia yang waktu itu nabrak gue, Shend” sahut Grace, masih senyum senyum sendiri.
***
Vita menggaruk garuk kepalanya. Gusar. Masih belum ada email juga dari Alvent.
Tiba tiba…
*Penasaran? Iklan dulu, kita ke other couple ya? haha*
***
“Fyuuuh! Akhirnya selesai juga!” Butet tersenyum puas melihat meja yang susah payah ia lap akhirnya kinclong.
“Udahan Tet? Pulang bareng yuk.. takut nih gue.. kemaleman!” ajak Maria sambil mencangklong tas tangannya dan memakai jaket.
“Pulang bareng?? Bukannya lo naik bis mar? Trus sepeda gue ntar gimana??” tanya Butet sambil mengerutkan alisnya.
“Yah paling ga kita barengan sampe deket halte deh… takut gue soalnya udah gelap banget men!”
Butet menoleh pada Maria. Gadis manis berambut panjang itu sedang ‘memasang’ jurus andalannya. Tatapan mata memelas (yang kata Butet mirip anak anjing—membuat Butet luluh, nggak bisa menolak apapun permintaan Maria).
“Yaaaaa deeeeeeeh” ujar Butet akhirnya.
“Horeee thanks ya tet hehehehe” Maria tertawa senang.
Tiba-tiba…
Jegrek. Pintu Café terbuka. “Hai Mariaaaa!!”
Mata cokelat Maria langsung membulat.
Gosh, Simon! Kenapa harus dia sih yang dateng??
Butet langsung menyikut lengan Maria berulang ulang.
“Tuh jemputannya udah dateng. Kayaknya gue ga diperluin lagi deh ya.” ujar Butet lalu nyengir lebar, tertawa penuh arti.
Maria memanyunkan bibirnya.
Bibir Maria semakin manyun ketika melihat seorang lagi datang… Pak Hendra!
“Tet, pulang bareng sama saya aja ya? Tuh Maria udah dijemput cowoknya.” ujar Hendra tanpa dosa.
Maria langsung mendelik lalu geleng geleng kepala, ingin memberi isyarat bahwa Simon bukanlah pacarnya. Namun perhatian Pak Hendra sepenuhnya sedang tertuju pada Butet alias Liliyana sehingga tak memperdulikan apapun selain Liliyana (ceilah romantis amat??).
“Hah! b..boleh deh pak.” sahut Liliyana.
Wajahnya memerah— baru sadar telah terlalu lama memperhatikan Hendra. From head to toe. Habis penampilan Hendra memang rapi banget sih.
“Hendra, aja.” ralat Hendra, lalu menggandeng tangan Butet. Butet kaget, namun nggak berusaha untuk menolak, malah mempererat genggaman tangan Hendra.
“Mar, tapi lo.. gim” Butet bertanya khawatir pada Maria
“Udah gapapa!” Maria mendorong Butet ke arah Pek Hendra. “Byeee, have fun yaa”
Walaupun masih ragu untuk meninggalkan Maria, namun akhirnya Butet pergi juga dengan Hendra.
Maria tersenyum senang sambil memandangi kedua muda-mudi tersebut berjalan menjauh.
Namun sesaat kemudian senyum manisnya memudar, digantikan oleh helaan nafas panjang.
Maria menoleh ke arah Simon. Cowok itu sedang memperhatikannya dengan takjub.
Aduh, tatapannya benar-benar menjengkelkan! seolah aku ini makhluk ajaib—sapi berkaki delapan, misalnya. Grrrr!
“Mau minum apa?” tanya Maria ketus, ia melepas jaket dan tas tangannya lalu beranjak ke dapur. Kelihatan sekali ia tak ingin berbasa-basi.
“Terserah. Adanya saja.” jawab Simon, masih juga memperhatikan Maria.
Maria mendelik kesal. “Kau ini!— Maumu apa sih sebenarnya? Kenapa daritadi memperhatikan aku terus?!”
Simon tampak terkejut oleh ucapan Maria. Lalu wajahnya berubah mendung. Tampaknya ia merasa bersalah. “Maaf. Aku nggak bermaksud macam macam kok, aku hanya terkesan pada gadis cantik sepertimu yang masih peduli, pada orang seperti aku, maksudku—sudahlah! mungkin memang tak ada lagi orang yang mau menjadi temanku, walaupun sekadar mengajak bicara. Maaf, sebaiknya aku pulang saja.” ujar Simon lalu bangkit sembari memakai kupluk coklatnya.
“Ah ya,” Simon berbalik sebentar. “Terima kasih, kopinya enak sekali.” Cowok berambut cepak itu tersenyum manis kepada Maria, sebelum akhirnya benar benar menghilang.
Maria sempat terpana oleh kehangatan senyuman Simon. Namun akhirnya ia tersadar, “Ngomong ngomong soal kopi, enak, katanya? Aku bahkan belum membuatkan dia apa-apa! Dasar sinting!” Maria berdecak heran.
***
Tiba-tibaaaaaaa……
Perut Vita… berbunyi keras. “Krucuuuk”
“Oh sial, kelupaan makan malam gara-gara nungguin email nggak jelas itu.” omel Vita.
Gadis berambut cepak itu kemudian melepas kacamatanya, dan beranjak ke dapur untuk membuat roti isi.
***
“Nggak dateng lagi? Ya ampun.. sampe kapan sih aku harus nunggu?” gerutu Alvent.
“Masih nungguin email dari Vita?”
Alvent menoleh. “Hai Sarah,”
“Hehe. Tapi bener kan?” tanya Sarah lagi.
“Yaah tau sendiri lah. Udah ya, aku mau ke bawah dulu.” seru Alvent
“Ngapain?”
“Cari angin”
Alvent pun menuruni tangga. Tak lagi mempedulikan Sarah. Pikirannya benar-benar kacau hari ini, gara-gara memikirkan Vita.
“Dingin banget sih hari ini.” Alvent mengencangkan jaketnya.
Ia berhenti melangkah ketika melihat sebuah benda yang menarik perhatiannya. Sebundel kertas di tempat sampah.
Alvent mengernyit heran. “Surat?” gumamnya sambil membolak balik kertas yang ternyata adalah amplop.
Dan begitu melihat alamatnya Alvent tersadar. Sekarang ia tau mengapa surat-surat dari Vita tak pernah sampai ke tangannya.
***
“Pak Hendra, terima kasih ya sudah mau mengantar saya.” ujar Butet sambil tersenyum kepada Hendra.
“Liliyana, berapa kali sih aku harus bilang, Hendra aja.” sahut Hendra
“Ah.. iya.. makasih ya, Ndra.” ulang Liliyana lirih.
Ketika Butet akan membuka pintu mobil, Hendra menarik tangannya pelan. Reflek Liliyana berbalik.
“Ada apa?” tanya Liliyana. Wajahnya merona.
“Enggak. Cuman rasanya aku ngga rela kamu pulang, Li.”
Suasana setelah itu benar benar sepi. Liliyana dan Hendra terdiam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya suara jangkrik yang terdengar.
Hendra menatap mata Liliyana yang bening. Liliyana gentian menatap Hendra.
Lalu keduanya memejamkan mata.. mendekatkan wajah dan mereka pun…..
(Bayangkan sesuai imajinasi pembaca masing masing. Jangan ngeres! ^^V)
***
Liliyana membanting tubuhnya di kasur. Kepalanya pusing, badannya panas. Padahal seharian tadi ia merasa sangat sehat. Liliyana lalu memandang dirinya di cermin. Ia menyentuh bibirnya perlahan dan seketika terbayang lagi kejadian di mobil yang baru saja terjadi.
Terbayang lagi ketika Hendra mengecup manis bibirnya. Kecupan yang lembut dan penuh perasaan. Membuat Liliyana serasa melayang di awang-awang. Lalu gadis itu tersenyum manis sekali sebelum akhirnya berlayar ke alam mimpi.
***
“Grace, ayo ikut korea-festival. Di sana kau bisa bertemu Yong Dae.”
Grace menoleh dan mendelik seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Rian, berdiri di depannya, tersenyum, sambil mengangsurkan sebuah selebaran.
10 detik kemudian, Grace masih saja melongo, membuat Rian tertawa terpingkal-pingkal.
“Aduh.. maaf.. aku tak bisa berhenti tertawa.. habis ekspresimu lucu sekali sih!”
Grace merona. Ia tetap berusaha tersenyum sekalipun sebenarnya ia maluuuu sekali!
“A..ada apa kak? Tumben..”
“Ini. Aku cuma mau ngasih ini.” Rian mengangsurkan selebaran itu lagi.
“Korean Festival?” Alis Grace mengerut.
“Yep. Kamu bisa ketemu Yong Dae di sana. Kabar yang kudengar katanya ia membuka sebuah stand.”
“Yong Dae??” Kali ini Grace mendelik. “Kakak tau dia???”
Ryan tertawa lagi, “Duh Grace kamu ini benar-benar gadis yang spontan ya! Ya sudah pasti aku tau, kita kan satu esde dulu.. kamu nggak inget?”
“Hah?” Grace benar-benar dibuat melongo kali ini. Dan seperti biasa, Rian pun kembali tak bisa berhenti tertawa.
***
“Apa maksudnya ini, Sarah?!” teriak Alvent lalu membanting bundelan amplop—lebih tepatnya surat, dari Vita, yang ia temukan kemarin.
Wajah Sarah berubah pias. “Ap.. apa-apaan ini? Aku nggak tau apa apa, Vent!” sergahnya.
“Jangan bohong! Kamu kan yang membuang semua surat dari Vita ini?! Selain kamu & aku nggak ada lagi yang keluar masuk rumah ini!”
Sarah terdiam. Wajahnya bertambah pucat. Ia tahu suatu saat ini semua akan terbongkar, namun sekarang, sangat berat untuk mengakuinya!
“Jawab Sarah! Aku sedang berbicara denganmu!” bentak Alvent.
Sarah memejamkan matanya, meringis ngeri. Ia takut, takut sekali. Belum pernah dilihatnya Alvent sampai semarah itu.
“SARAH, JAWAB AKU!! Apa kamu yang membuang semua surat ini?!” Emosi Alvent semakin menjadi.
Sarah mati kutu. Ia tau tak akan bisa ngeles atau beralasan apapun lagi.
Tiba-tiba Sarah memeluk Alvent..
Alvent mendelik.
“Maafin aku Vent. Tapi aku nglakuin ini semua karena aku sayang sama kamu, Vent. Aku cinta sama kamu, sebagai seorang lelaki, bukan seorang sahabat!” ujar Sarah, sambil memeluk Alvent dan menangis tersedu-sedu.
“Aku cinta kamu Vent! Nggak pernah kan kamu nyadarin itu, sedikit pun!” seru Sarah, melepaskan pelukannya. “Aku yang selalu ada buat kamu. Aku cewek yang paling deket sama kamu. Aku selalu berusaha nolong kamu tiap ada masalah. Aku perhatian, aku care sama kamu Vent!! Tapi kenapa kamu justru memilih Vita? Yang nggak pernah deket sama kamu sekalipun! Kamu nggak pernah ngelirik aku Vent! Bahkan dari segi fisik aku jauh lebih baik daripada dia!”
PLAK!!
Alvent menampar Sarah, cukup keras untuk membuat pipi gadis itu memerah.
“Jangan ngomong sembarangan. Aku memilih Vita bukan karena fisik. Juga bukan karena dia selalu nyari perhatian sama aku.” Alvent lalu menatap Sarah tajam. “Sekarang aku tau, kamu memberikan semua perhatianmu nggak tulus, bukan karena kamu memang ingin jadi sahabatku, tapi karena kamu mengharapkan cintaku, menginginkan aku jadi pacarmu, begitu, Sar?”
Sarah terdiam. Air matanya semakin deras mengalir. Ia masih sesenggukan.
Alvent lalu menggenggam tangan gadis itu.
“Jujur aku kecewa sama kamu, Sar. Aku kira kamu tulus, ingin menjadi sahabatku, sobatku, sohibku, yang paling setia dan selamanya menyenangkan. Tapi ternyata kamu nggak bisa. Nggak bakal bisa. Maaf Sar, aku bener-bener nggak bisa jadi pacar kamu. Karena kamu hanya kuanggap sahabat. Sahabatku, best friend forever. Dan juga karena aku sangat mencintai Vita.” Alvent menghela nafas. Sepertinya ia sendiri juga masih shocked, ‘ditembak’ oleh sahabat ceweknya sendiri.
“Satu lagi, Sar. Aku minta maaf banget, tapi kalau kamu masih mengharapkan cinta dari aku, lebih dari ‘cinta seorang sahabat’, lebih baik kita nggak perlu bersahabat lagi— atau malah nggak berhubungan lagi. Karena semua perasaan itu hanya akan bikin persahabatan kita hancur, dan.. semua perasaan itu hanya akan bikin kamu sakit hati, karena terus terang sampai kapanpun aku nggak akan pernah bisa membalasnya.”
Tangis Sarah benar-benar pecah sekarang. Hatinya hancur berkeping keping. Ia melepaskan genggaman Alvent, lalu berlari keluar. Meninggalkan Alvent dengan tatapan bersalah.
Sejak awal ia sudah tau kalau Alvent pasti akan lebih memilih Vita dibanding dirinya.
Tapi ternyata ia masih terlalu rapuh, untuk menerima semua kenyataan yang ada.
Bahwa dirinya tidak dicintai oleh Alvent. Bahwa cintanya tidak kesampaian. Bahwa cintanya hanya bertepuk sebelah tangan.
Label:
cerbung :)
Subscribe to:
Posts (Atom)